RERAINAN
Hari Raya agama Hindu berdasarkan Kalender Bali
1.
Setiap Bulan
PURNAMA
Rerainan
purnama jatuh setiap 30 hari sekali. Pada hari ini seluruh pura - pura di Bali
biasanya ramai oleh umat yang melakukan persembahyangan. Pada rerainan Purnama beryogalah
Sang Hyang Candra (bulan) yang merupakan hari penyucian oleh Sang Hyang Rwa
Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra. Rerainan Purnama
merupakan sebuah momentum guna mengintrospeksi diri, bersujut dihadapan Tuhan
dan kembali kepada keseimbangan (Rwa Bhineda) sekala dan niskala. Disamping itu
pada rerainan Purnama vibrasi suci akan terpancar dari sinar rembulan sehingga
sangat baik untuk melaksanakan yoga Samadhi. Pada hari ini umat melakukan persembahyangan
dimulai dari merajan / kemulan masing - masing, merajan dadia, Pura Kahyangan
Tiga dan jika memungkinkan sangat baik untuk melakukan Tirta Yatra.
TILEM
Rerainan tilem merupakan pemujaan Sang Hyang Surya, dirayakan setiap 30 atau 29
hari sekali. Tilem juga
merupakan rerainan penyucian oleh Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya
dan Sang Hyang Candra, yang mempunyai makna sama dengan rerainan Purnama.
Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan) maka
dilakukanlah pemujaan Candra Sthawa/ Soma Sthawa, dan pada waktu Surya Graha
(gerhana matahari) dilakukan pemujaan Surya Cakra Bhuwana Sthawa.
ANGGARA KASIH
Anggara Kliwon adalah
rerainan yang datang setiap pertemuan Saptawara Anggara dengan Pancawara Kliwon, juga sering disebut
dengan Anggara Kasih. Pada rerainan ini Sang Hyang Ayu dan Sang Hyang Rudra
beryoga melimpahkan anugrah beliau. Pada hari ini umat menghaturkan canang dan
melakukan persembahyangan memohon wara nugraha beliau agar menglebur segala
keletehan / kekotoran dunia.
KAJENG KLIWON
Rerainan
kajeng kliwon datangnya setiap 15 hari sekali yaitu pada saat pertemuan Triwara
Kajeng dengan Pancawara Kliwon. Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang
jatuh pada Pangelong atau periode hingga 15 hari setelah Purnama. Kajeng kliwon
merupakan hari pemujaan terhadap Sanghyang Siwa, yang diyakini pada hari
tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Rerainan kajeng kliwon dipercaya sebagai
hari yang keramat. Pada hari kajeng kliwon umat menghaturkan segehan yang
dihaturkan kepada Sang Hyang Dhurga Dewi, di tanah segehan dihaturkan kepada
Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Dhurga Bucari.
Kajeng
Kliwon ini umat hindu membuat sesajen: Ajuman, Dampulan, dan Segehan yang akan
dipersembahkan di merajan masing-masing,
Banten
Ajuman dihaturkan disanggah Surya, Betara Yang
Guru dan di Dewayang. Sedangkan banten Dampulan dihaturkan dipelinggih Taksu,
Ratu Ngurah dan di Penunggun Karang, yang terakhir adalah
Segehan, Segehan
ini dihaturkan untuk Para Bhuta Kala agar rumah kita terhindar dari gangguan
para Bhuta Kala maka dari itu kita sangat perlu sekali menghaturkan banten
segehan pada saat hari Kajeng Kliwon.
Pada
setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di
beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Adapun penjelasannya diambil dari Cundarigama.
Pancawara Kliwon
Mwah ana manut Pancawara Kliwon
ngaran, samadhin bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang
luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh ring natar
sanggar mwah dengen, dening: segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang
tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang
Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. Ikang wehana laba nangken
kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya.
Artinya :
Dan pada hari pancawara, yakni
setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya
pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi
bertempat di pemerajan, dan diatas tempat tidur, sedangkan yang patut
disuguhkan di halaman rumah, ialah segehan kepel 2 kepel menjadi satu tanding,
dan setiap tempat tersebut diatas disuguhkan 3 tanding yakni : di halaman
sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman
rumah kepada Kala Bhucari.
Adapun meksud memberikan laba
setiap hari Kliwon, ialah untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi
bahagia.
Byantara Kliwon
Kunang ring byantara kliwon,
prakrtinia kayeng lagi, kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege
warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur; canang wangi-wangi,
burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat
Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna
wwang maumah, yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wwang
adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang
pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa
katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga.
Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun.
Artinya :
Lain lagi pada hari Kajeng
Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya
tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori
sebelah atasnya, ialah: canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang
dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan dibawahnya, untuk Sang Durga Bhucari,
Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan
kepada penghuni rumah. Sebab kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang
Kala Tiga bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatara Durga Dewi, untuk
merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan/ menyebarkan penyakit, dan mengundang para pengiwa, segala
merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah,
yang mengakibatkan perginya para Dewata semua, dan akan
memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sanghyang Kala
bersama-sama dengan abdi Bhatara Durga. Demikianlah agar disadari, dan jangan menentang
pada petunjuk kami.
BUDA KLIWON
1.
BUDA KLIWON UGU
2.
BUDA KLIWON PAHANG
3.
BUDA KLIWON MATAL
4.
BUDA KLIWON GUMBREG
BUDA CEMENG
1.
BUDA CEMENG KLAWU
Upacara
Buda Cemeng Klawu
atau disebut juga Buda Wage Klawu
adalah upacara pemujaan dan permohonan doa agar mendapat rezeki atau dibukakan
pintu rezeki, upacara ini juga sebagai ungkapan terima kasih karena telah
diberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada manusia dan umat Hindu
khususnya. Dewa yang di sembah adalah Ida
Betari Rambut Sedana atau dikenal juga sebagai Dewi Laksmi, melalui
manifestasinya Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa). Dalam perkembangannya, upacara Buda Cemeng Klawu ini lebih
dikhususkan dalam perwujudan sebagai bentuk simbol uang.
Upacara Buda Cemeng Klawu ini jatuh
pada hari Rabu Wage wuku Klawu
kalender Bali. Menurut adat istiadat umat Hindu di Bali meyakini Ida Betari Rambut Sedana/Dewi Laksmi
sedang melaksanakan yoga dan di percaya juga pada hari ini tidak diperbolehkan
menggunakan uang untuk hal-hal yang sifatnya tidak kembali berupa wujud barang,
misalnya membayar hutang atau menabung, karena dipercaya uang/kekayaan tersebut
nantinya tidak dapat kembali selamanya dan menghilang oleh sifat tamak/serakah
kita sebagai manusia.
Dalam
memperingati Buda Cemeng Klawu,
umat Hindu di Bali dingingatkan kembali akan keberadaan artha yang ada dalam Catur Purusaartha, Artha, Kama, Dharma dan Moksa. Pengertian Artha disini tidak dalam
sebatas kekayaan saja, namun juga mengandung arti dan tujuan dalam bentuk
kemakmuran materi. Artha
juga mencakup konsep dalam arti mencapai ketenaran, dan memiliki kedudukan
sosial yang tinggi, yang akan berhubungan dengan proses pencapaian dari satu
tujuan yaitu kebenaran. Dalam cara pandang yang lain, Artha ditempatkan juga sebagai
salah satu kewajiban seseorang dalam kehidupan untuk mengumpulkan harta benda
sebanyak mungkin, namun dengan syarat jangan menjadi serakah, dan bertujuan
untuk membantu dan menolong keluarga serta orang lain yang membutuhkannya.
Upacara
Buda Cemeng Klawu ini
dilakukan oleh seluruh umat Hindu di Bali, terutama mereka yang membuka usaha
perdagangan, misalnya pedagang di pasar, pemilik warung, restaurant, jasa
keuangan, bengkel, bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan yang mengalirkan dana
secara cepat dalam menjalankan perusahaaan. Biasanya pada setiap tempat yang
digunakan untuk menyimpan uang, diberikan sesajen khusus untuk menghormati Ida Betara Sedana atau Dewi Laksmi sebagai ujud
ungkapan rasa terima kasih atas pemberian-Nya.
Menurut
kekawin Nitisastra
IV.7 ada dinyatakan sebagai berikut: Singgih
yan tekaning yuganta kali tan hana lewiha sakeng mahadhana. Tan waktan guna
sura pandita widagdha pada mengayap ring dhaneswara. Artinya: kalau
zaman kali sudah datang tidak ada yang lebih bernilai daripada uang. Sudah
susah dikatakan para ilmuwan, pemberani, orang suci maupun orang yang kuat
semuanya pelayan orang kaya.
Dari sumber Susastra Hindu tersebut diatas
dapat dipahami bahwa uang itu pada hakikatnya adalah sarana bukan tujuan hidup,
jadi tergantung cara manusia menggunakan sarana tersebut. Bila uang tersebut di
dapat dan digunakan sesuai berdasarkan konsep ketuhanan maka uang itu amat
berguna mengantarkan manusia mendapatkan hidup bahagia lahir batin, namun
sebaliknya jika uang tersebut di anggap sebagai tujuan yang dianggap paling
bernilai maka uang itu akan dapat membawa kesengsaraan. Karena itu tempatkanlah
uang tersebut sebagai alat mewujudkan Dharma/kebenaran/kebaikan.
2.
BUDA CEMENG WARIGADIAN
3.
BUDA CEMENG LANGKIR
4.
BUDA CEMENG MERAKIH
5.
BUDA CEMENG MENAIL
6.
BUDA CEMENG UKIR
TUMPEK
1. Tumpek landep
Rerainan tumpek landep jatuh pada hari Saniscara Wuku Landep yang datangnya
setiap enam bulan sekali. tumpek Landep adalah pemujaan kepada Sanghyang Siwa
dalam wujudnya sebagai Sanghyang Pasupati yang memberi taksu atau tuah kepada
semua pusaka atau senjata. Pada hari ini umat melakukan penyucian dan pemujaan
terhadap pusaka leluhur baik itu berupa keris, tombak dan sebagainya agar tetap
bertuah. Adapun makna dari Tumpek Landep adalah agar umat senantiasa
mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi sehingga memperoleh tuah / pasupati
berupa pikiran yang tajam (landep) agar bisa memilah - milah mana yang baik dan
yang buruk.
Adapun
upakara yang dihaturkan adalah tumpeng putih kuning dan danan dengan ulam sesuai dengan
kemampuan, gerang trasi bang, sedah woh yang dihaturkan di sanggah dan
dipersembahkan kepada Sang Hyang Siwa, lalu nedunang dan ngiasa semua
Pusakan/pajenengan yang dimiliki, dengan upakaranya Sesayut jayeng perang,
sesayut kusuma yuida, suci daksina, peras, canang wangi-wangian yang
dipersembahkan kepada Sang Hyang Pasupati
2. Tumpek Uduh
|
Rerainan
tumpek uduh disebut juga hari raya Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah,
Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh, jatuh pada Saniscara Kliwon Wariga.
Hari ini adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga
keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara
agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama
penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari
yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan.
Tumpek uduh
merupakan awal dari rentetan hari raya galungan dimana Tumpek Uduh atau
Tumpek Bubuh ini jatuh 25 hari sebelum hari Raya Galungan.
Pada Tumpek
Uduh ini Umat hindu akan melakukan upacara persembahan kepada tumbuh tumbuhan
yang berperan penting terhadap kehidupan Manusia.
Pada Saat
melakukan Upacara ini biasanya umat melantunkan sahe, seperti mantra tetapi
bukan mantra. Bunyinya seperti ini : “ Kaki-kaki buin selai lemeng Galungane mangde mebuah ngeed, ngeed
ngeed “. Seperti itu kira kira komat kamit yang diucapkan
umat saat menghaturkan sesajen yang berisi bubur di depan tumbuhan.
|
Bebantenan untuk selamatan ini adalah: peras,
tulung sesayut tumpeng, bubur gendar, tumpeng agung, penyeneng, tetebus
dan serba harum-haruman. Lauknya guling babi atau itik.
|
Widhi-widhana untuk keluarga dan diri sendiri : sesayut cakrageni,
dan dupa harum, dipersembahkan dalam suasana hening cipta menjernihkan
segenap pikiran menuju ketenangan bathin yang mengakibatkan timbulnya adnjana
sandhi.
|
3.
Tumpek Krulut
Tumpek Krulut adalah
upacara yadnya yang dirayakan
setiap sabtu kliwon wuku krulut sebagai
sujud syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam
manifestasinya sebagai Dewa Iswara atas
terciptanya suara-suara suci/tabuh dalam keindahan dan seni.
Tujuannya
adalah agar perangkat suara untuk kelengkapan upacara tersebut memiliki suara
yang indah dan “taksu”. Dari alunan
nada tersebut akan melahirkan gerak-gerak nan indah sebagai unsur seni.
Dalam
Hindu
Bali, Tumpek Krulut itu berasal dari kata lulut yang artinya
hati menyatu dengan keindahan (sundaram) sehingga pikiran menjadi damai. Tumpek
Krulut jg merupakan hari kasih sayang.
Kasih
sayang itu diwujudkan dalam bentuk keindahan, dalam hal ini suara gamelan. Yang
dipuja juga dalam Tumpek Krulut adalah Ida Sanghyang Widi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Dewi Semara Ratih. Karena itu banten yang dihaturkan adalah sesayut lulut asih.
4. Tumpek
Kandang
|
Jatuh pada Saniscara
Kliwon Uye.
Disebut juga Tumpek Wewalungan /Oton
Wewalungan atau Tumpek Kandang atau tempek uye, yaitu hari selamatan binatang-binatang
piaraan (binatang yang dikandangkan) atau binatang ternak (wewalungan).
Hari
ini datang setiap enam bulan (210 hari) sekali. Pada hari ini
umat Hindu membuat upacara memuja keagungan Tuhan Yang Mahaesa sebagai Siva
atau Pasupati, yang memelihara semua makhluk di alam semesta ini. Pemujaan
kepada Tuhan Yang Mahaesa ini diwujudkan dengan memberikan upacara selamatan
terhadap semua bintang, khususnya binatang ternak atau piaraaan.
Untuk bebanten selamatan bagi binatang tersebut
berbeda-beda menurut macam / golongan binatang-binatang itu antara lain:
·
Untuk
bebanten selamatan bagi sapi, kerbau, gajah, kuda, dan yang semacamnya
dibuatkan bebanten: tumpeng tetebasan, panyeneng, sesayut dan canang
raka.
·
Untuk
selamatan bagi babi dan sejenisnya: Tumpeng-canang raka, penyeneng,
ketipat dan belayag.
·
Untuk
bebanten sebangsa unggas, seperti: ayarn, itik, burung, angsa dan
lain-lainnya dibuatkan bebanten berupa bermacam-macarn ketupat sesuai dengan
nama atau unggas itu dilengkapi dengan penyeneng, tetebus dan kembang
payas.
Di sanggah / merajan dilakukan pemujaan, pengastawa
Sang Rare Angon yaitu dewanya ternak dengan persembahan (hayapan /
widhi-widhana) berupa suci, peras, daksina, penyeneng, canang lenga
wangi, burat wangi dan pesucian.
|
5. Tumpek Wayang
|
Upacara ini diperingati pada Saniscara Kliwon Wayang, 6 bulan (210 hari) sekali yang merupakan rentetan dari Hari Haya Galungan. Pada hari ini adalah Puja Walinya Sang Hyang Iswara. Hari ini umat Hindu di Bali menghaturkan upacara menuju keutamaan tuah pratima-pratima dan wayang, juga kepada semua macam benda seni dan kesenian, tetabuhan, seperti: gong, gender, angklung, kentongan dan lain-lain.
Bebantennya yaitu : suci, peras, ajengan, sedah woh, canang raka, pesucian
dengan perlengkapannya dan lauknya itik putih.
Upakara dihaturkan ke hadapan Sanghyang Iswara, dipuja di depan segala benda seni dan kesenian agar selamat dan beruntung dalam melakukan pertunjukan-pertunjukan, menarik dan menawan hati tiap-tiap penonton.
Untuk pecinta dan pelaku seni, upacara selamatan
berupa persembahan bebanten: sesayut tumpeng guru, prayascita, penyeneng
dan asap dupa harum, sambil memohon agar supaya mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh dalam menciptakan majunya kesenian dan kesusastraan.
Namun ada hal
yang lebih menarik di Bali berkenaan dengan hari tumpak wayang ini, apabila
anak lahir pada hari yang sama waktu wuku wayang maka dianggap keramat. Umat
Hindu meyakini bahwa anak yang dilahirkan pada hari tersebut patut
diselenggarakan upacara lukatan besar yang disebut sapuh leger, agar anak
yang baru dilahirkan itu terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala.
Dalam lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi
izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku
Wayang(cf. Gedong Kirtya, Va. 645).
Atas dasar isi lontar tersebut, maka anak yang lahir bertepatan dengan hari
ini harus melaksanakan kegiatan upacara pementasan Wayang Sapuh Leger dengan
peralatan yang lengkap berikut sesajennya. Umat Hindu Bali percaya dan
meyakini bahwa anak yang lahir pada Tumpek
Wayang memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap
memiliki nilai cemer (kotor) yang membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan
dirundung malapetaka, akibat dikejar-kejar Dewa
Kala. Dengan upacara mementaskan Wayang Sapuh Leger ini si anak yang baru lahir
tersebut di yakini dapat terhindar dari kejaran Dewa Kala dan juga dapat
memusnahkan sifat-sifat negatif pada anak tersebut.
|
2.
Setiap 6 Bulan
SARASWATI
Hari ini adalah hari
pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, yaitu perayaan hari turunnya ilmu
pengetahuan. Pada hari ini umat melakukan upacara khusus terhadap lontar dan
pustaka suci sebagai wujud syukur atas Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi yang
telah memberi ilmu pengetahuan sebagai bekal bagi umat didalam menjalani
kehidupan. Pada hari ini sangat baik untuk melakukan semadi ataupun makemit di
pura dengan membaca lontar, kitab suci ataupun wirama sebagai wujud bhakti dan
syukur kepada Sang Hyang Aji Saraswati sebagai dewaning pangweruh.
BANYU PINARUH
Pada hari ini umat melakukan penyucian diri dengan mandi menggunakan air
kumkuman (air bersih bercampur bunga harum) ataupun ke pantai dan sumber mata
air guna memohon penglukatan kepada Sang Hyang Aji Saraswati agar diberikan
pemikiran yang suci dan jernih sehingga memperoleh kecerdasan berfikir dalam
mempelajari ilmu pengetahuan
SOMA PON
SINTA/SOMA RIBEK
Pada hari soma Ribek adalah payogan Sanghyang Sri Amretha. Pada hari ini Umat
Hindu melakukan Widhi Widana atau pemujaan pemujaan kepada Sanghyang Tri
pramana yaitu Dewi Sri, Sadhana, dan dewi Saraswati, dengan menghaturkan
upakara di lumbung dan di Pulu (tempat beras). Adapun upakara yang dihaturkan
adalah nyahnyah,gringsing, geti-geti, pisang mas dan wangi-wangian sebagai
tanda syukur atas wara nugraha berupa amertha (makanan) dan semoga tetap
diberikan kesuburan.
Pada hari coma ribek umat Hindu pantang untuk
menumbuk padi dan yang sejenisnya serta menjual beras.
PAGERWESI
Hari rerainan buda klwion Sinta atau Pagerwesi
datang setiap enam bulan sekali. Pagerwesi adalah hari pemujaan kepada
Sanghyang Pramesti Guru karena pada hari buda kliwon sinta adalah
payogan Hyang Siwa dalam manifestasi beliau sebagai Sanghyang Pramesti Guru,
yang diikuti oleh payogan Sanghyang Panca Dewata, yaitu Sang Hyang Iswara di
timur, Sang Hyang Brahma di selatan, Sang Hyang Mahadewa di barat, Sang Hyang
wisnu di utara dan Sang Hyang Siwa di tengah, yang melambangkan pangider ider
atau penguasa semua arah. Pagerwesi berarti pagar atau benteng besi yang
mempunyai makna agar umat senantiasa menjaga kesuciannya dan membentengi diri
dari segala arah terhadap godaan dan gangguan dari hal - hal yang dapat
merugikan dan menjerumuskan. Adapun upakaranya adalah suci, peras penyeneng, sesayut panca
lingga, penek, rayunan denga raka-rakanya, wangi-wangian, asep
menyan astanggi, yang dihaturkan di rong tiga, dan di bawah mempersembahkan
segehan mancawarna yang ditujukan kepada sang panca maha bhuta. Pada Hari ini
umat natab sesayut pageh urip dan prayascita dan pada tengah malam melakukan
yoga semadi memohon petunjuk jalan untuk menuju keselamatan.
GALUNGAN
Hari raya Galungan yang merupakan hari raya besar bagi Umat Hindu
diperingati setlap 210 hari berdasarkan perhitungan pawukon yakni jatuh pada
hari Rabu/Buda pancawara Kliwon, wuku Dungulan.
Peringatan hari raya dalam agama Hindu menggunakan
perhitungan sebagai berikut:
1.
Berdasar sasih, melihat peredaran
bulan di langit jatuh setiap tahun seperti hari-hari raya Nyepi, Siwalatri bila
dihitung kurang lebih setiap 365 hari.
2.
Berdasarkan pawukon, yang
diperingati setiap 210 hari seperti hari raya Galungan, Kuningan, Pagerwesi dan
Saraswati.
Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan
kata Dungulan yang
artinya menang atau unggul. Hari Raya Galungan mempunyai makna memperingati kemenangan Dharma melawan
Adharma, secara rohani manusia mengendalikan hawa nafsu yang sifatnya
mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekspresi dalam kegiatan
sehari-hari baik secara individu maupun kelompok. Hawa nafsu dalam diri kita
dikenal dengan nama Kalatiga yakni tiga macam kala secara hersama-sama dimulai
sejak hari Minggu sehari sebelum penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa
(Penampahan Galungan). Yang dimaksud tiga kala yakni:
1.
Kala Amangkurat yakni nafsu yang
selalu ingfn berkuasa, ingin menguasai segala keinginan secara batiniah dan
nafsu ingin memerintah bila tidak terkendali tumbuh menjadi nafsu serakah untuk
mempertahankan kekuasaan sekalipun menyimpang dati kebenaran.
2.
Kala Dungulan yang berarti segala
nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai oleh ternan kita atau orang lain;
3.
Kala Galungan yakni nafsu untuk
menang dengan berbagai dalih dan cara yang tidak sesuai dengan norma maupun
etika agama.
Hari raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya kemenangan Dharma melawan
Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu Sedah disebut sebagai
"Kadung gulaning parangmuka" lebih jauh dijelaskan musuh yang
dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia yang terlebih dahulu
harus dikalahkan. Musuh dimaksud adalah : kenafsuan (kama), kemarahan (kroda),
keserakahan (mada), irihati (irsya) atau semua tergolong dalam Sadripu maupun
Satpa Timira
Sebagaimana kita ketahui kisah tersebut telah tertuang dalam kitab
mahabharata yang termasuk ltihasa sangat utama dalam sastra Hindu. Dalam kitab
tersebut tertulis betapa perjuangan Pandawa dalam memerangi Adharma untuk
menegakkan Dharma.
Sang Darma Wangsa adalah keluarga yang selalu menegakkan dharma
beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang
(Satyam eva Jayate). Lain halnya dengan maha kawi Danghyang Nirartha, beliau
melahirkan sebuah karya kekawin Maya Danawantaka, Dalam ceritanya dikisahkan
seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa di punggung gunung Ksitipogra dan
pusat pemerintahannya diseputaran danau Batur daerah Kintamani, Bangli di Bali.
Setelah dia mendapat anugrah dalam pertapaannya ternyata kelobaannya
menjadi-jadi, sehingga rakyatnya di wilayah pemerintahannya menjadi ketakutan,
Si Mayadanawa tidak hanya mengumpulkan emas, kekayaan, dia melarang melakukan
yadnya, bersama tentaranya merusak, mengacau, menyakiti, menghina sastra dan
ajaran agama.
Oleh karena kejahatannya, diutuslah Dewa Siwa untuk memeranginya.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pasukan Dewa Siwa dengan
Mayadenawa. Karena kesaktiannya Mayadanawa menciptakan tirta cetik, sehingga
pasukan Desa Siwa yang sedang kehausan meminumnya, semua pasukan Dewa Siwa
Mati. Singkat cerita Dewa Siwa mengetahui kejadian tersebut sehingga Dewa Siwa
menciptakan tirta empul (pengurip) yang sekarang disebut tirta empul, diperciki
pasukan yang mati hidup kembali. Peperangan harus berlanjut sehingga Mayadanawa
terkepung tentaranya mati, dia lari tunggang langgang segala macam taktik tipu
muslihat dipergunakan. Mayadanawa lari agar tapak kakinya tidak dilihat, dia lari
dengan tungkai yang miring namun tetap diketahui oleh Pasukan Dewa Siwa
sehingga sebagai bukti tempat itu sampai sekarang disebut desa Tapak Siring
(Tampak Siring) asal kata dan telapak kaki miring. Kemudian Maya Danawa lari
bersembunyi di pohon kelapa pada pucuk kuncup/pada busung kelapa tetap dapat
dilacak oleh pasukan Dewa Siwa sampai sekarang tempat itu dinamakan desa
Blusung. Akhir cerita karena Mayadenawa dipihak yang salah peperangan
dimenangkan oleh Pasukan Dewa Siwa dan Mayadenawa mati. Demikian sejarah hari
Galungan.
Menyambut han Raya Galungan umat Hindu hendaknya benar-benar dapat
mengendalikan tiga nafsu ingin berkuasa, ingin mengalahkan, ingin menang
sehingga di hari Rabu/di hari Galungan dapat menegakkan dan mengibarkan
panji-panji kemenangan dan kemerdekaan spiritual. Kita dapat melepaskan pikiran
kita dari kesusahan, sehingga merasa tenang, tenteram gembira baik secara
individu, keluarga, serta seluruh umat agar dapat menatap, merencanakan hari
depan semakin cerah. Sebagai simbul kemenangan, kegembiraan, rasa syukur sehari
sebelum Galungan umat Hindu menancapkan Penjor-penjor di pintu gerbang/jalan
masuk halaman rumah yang mempunyai makna segala sumber kehidupan disediakan di
bumi, penjor sebagai lambang gunung yang merupakan segala sumber kemakmuran
yang diperlukan oleh seluruh mahluk. Gunung sebagai sumber sandang, pangan dan
papan, penghasil udara dan air oleh karena itu disimbulkan dengan penjor dengan
segala hiasan sesuai seni dan budaya umat Hindu masing-masing, dilengkapi
dengan hasil bumi pala bungkah (umbi-umbian) dan pala gantung (buah-buahan) dan
juga dilengkapi dengan kain putih kuning yang melambangkan panji-panji
keheningan ketulus-ikhlasan dan kesucian rohani.
Seperti dikatakan dalam Slokantara sloka ke 33" yaitu :
"Jika diwaktu bulan purnama dan bulan mati (tilem) para dermawan
memberikan dana punia akan diterima kembali balasannya satu lawan sepuluh oleh
Hyang Widhi. Kalau waktu gerhana bulan dan gerhana matahari akan dikembalikan
seratus kali, jika pengorbanan dilakukan pada hari-hari pemujaan arwah leluhur
balasannya seribu kali, kalau dilakukan pada akhir zaman Kaliyuga akan
dikembalikan dalam jumlah yang tidak terhingga".
Yadnya dan dana mempunyai makna hampir sama yadnya lebih condong pada
upacara sedangkan dana pemberian berupa materi. Bila kita berdana untuk
pemeliharaan atau perkembangan Pura berarti kita sudah bakti kepada Tuhan,
karena pura merupakan tempat pemujaan maha Pencipta. Pemberian dana yang
ditujukan kepada kegiatan sosial seperti membantu orang miskin, memberi
pertolongan kepada orang yang sedang dilanda kesusahan merupakan bentuk Dana
yang sangat tinggi nilainya.
Dana yang diberikan dalam bentuk ilmu pengetahuan sehingga orang
menjadi pintar, trampil sehingga bisa hidup sendiri nilainya lebih tinggi pula.
Karena itu umat Hindu dimana saja berada kita hendaknya dapat berperan dan
mengambil bidang masing-masing untuk beryadnya, berdana punia sesuai kemampuan
dan kapasitas kita, diberikan kepada siapa saja yang memerlukan yang dilandasi
dengan ketulus-ikhlasan. Jangan beryadnya menyusahkan diri sendiri atau
memaksakan diri, karena dana yang demikian tidak bermanfaat. Kita sadari tujuan
hidup Umat Hindu adalah untuk mencapai kesejahteraan rahani dan jasmani,
kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Sebelum puncak
perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan,
dan penampahan.
Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu:
1. Budha Pon Sungsang.
Hari Buda,
Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan, disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten
yaitu mulainya Nguncal Balung. Sugian itu penyucian awal. Nguncal artinya
melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas
atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma). Oleh karena itu
disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar
manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma. Pada masa nguncal balung
yang berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak
baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan
pawiwahan. Tenten artinya
sadar atau kesadaran
2. Wrehaspati Wage wuku Sungsang
adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan
bhuwana agung/alam semesta. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita
ini. Sugian Jawa atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura,
Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang
raka.
bermakna
sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Sugian Bali dilaksanakan 5 hari
sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten
pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan
keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
Penyekeban
3 hari
sebelum Galungan, Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan
kesadaran diri sampai suci (nirmala). Turunnya Sang Bhuta Galungan yang
menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya
perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau
berkelahi. Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar
dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram
buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri.
Penyajahan
Hari
Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta
Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam
Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin
menaklukkan sesama atau sifat ingin menang. Manusia agar lebih menguatkan diri
memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis
membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).
Penampahan
Hari Anggara, Wage, Wuku
Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang
menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam
Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin
berkuasa. Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara
Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta
Dungulan, dan Bhuta Amangkurat). Secara simbolis memotong babi “nampah celeng”
artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal
sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan
sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia. Sore hari ditancapkanlah
penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang
kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas
anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana
masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut: lamak
simbol Reg Weda, bakang-bakang simbol Atarwa Weda, tamiang simbol Sama Weda,
dan sampian simbol Yayur Weda. Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima
kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan
yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian,
jajan, dan kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu
upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
Manis Galungan
Hari Wraspati, Umanis, Wuku
Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan
ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan
mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu. Malam harinya mulai melakukan
persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat
dipertahankan pada diri kita seterusnya. Pemujaan di malam hari selama sembilan
malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai
persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai
berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra,
Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
Pemacekan Agung
Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari
setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar
tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.
Penampahan Kuningan
Hari Sukra,
Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa
(menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam
urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa,
Sada Siwa, Parama Siwa).
KUNINGAN
Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210
hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon
Wuku Kuningan. (1 bulan dalam
kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini
diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah
kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini,
pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah
hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.
Hari
raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada
beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol
persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya.
Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur
kita.
Pada
hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan
sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas
anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan
sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya
atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam,
bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan
anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan
bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna
perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu
pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat
Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang
harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.
Jadi
inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan,
kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para
Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan
terlaksana seijin Hyang Widhi
PEGAT UWAKAN
Hari Buda,
Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari
terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya
kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam
kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir,
dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa. Sesajen yang
dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan
Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya.
Hari Raya agama Hindu berdasarkan Kalender Saka
Nyepi
'Hari Raya Nyepi' adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai
merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa
intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan
suci terhadap mereka.
Pengertian Nyepi
Ogoh-ogoh yang sedang diparadekan di daerah Ngrupuk dalam upacara Bhuta Yajna.
Nyepi berasal dari kata sepi
(sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru
Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78
Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali
dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan
ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun
tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi
adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit
(alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam
semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang
dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.
Melasti, Tawur (Pecaruan), dan
Pengrupukan
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan
melakukan upacara Melasti atau disebut juga
Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di
Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah
sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor)
di dalam diri manusia dan alam.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada
"tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan
upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari
masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan
mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut
kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata
(kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur
atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh
(kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah
masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket
beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun
(berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini
ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon
supaya mereka tidak mengganggu umat.
Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu
menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan
pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya
kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir
Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan
kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan
sekitar.
Puncak acara Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada 'pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal
1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana
seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat
Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati
geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati
karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati
lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga
melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru,
benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai
hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang
kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang
wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga
(menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan
menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah
kesucian lahir batin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat
Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan
di tahun yang baru.
Ngembak Geni (Ngembak Api)
Rangkaian terakhir dari perayaan
Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal
ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru
Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan
keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama)
satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Inti Dharma
Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia di seluruh
penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling
menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan.
Hidup di dalam kerukunan dan damai.