Sejarah Hari
Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di
antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa
Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir
kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda
terdapat kata Galungan yang berarti berperang.
Parisadha
Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan
Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada
hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar
umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida
Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah
umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang
telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Ngaturang
maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan,
tahu akan hutang budi.
Yang
terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap
batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya
ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun
sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.
Dalam
rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing
Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta
Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka
itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat
berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan
dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma.
Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
- Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
- Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
- Hari ketiga = Sang Bhuta AmangkuratHari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Pendeknya,
mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang
akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif
saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama
mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana
nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan
sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut.
Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang
dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka
(lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan
anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma
melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing.
Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu,
umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma,
rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira
pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek
turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor terpancang di muka rumah dengan
megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung,
penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat
hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor
adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan
hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain,
juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti:
Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia,
bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang
kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena
cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama
suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa
material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa
kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah
dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang
berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau
pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan
(kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan
kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya.
Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta
lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila.
Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya
oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat
persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti
pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para
spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga
semadhi.
Persembahan
dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan
dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung,
di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati),
kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di
perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan
ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman,
kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di
persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen,
pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan
daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah
selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan
tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang
Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan
kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh
suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk
keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku
Kuningan (hari raya
atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara
turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok
tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan
sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai
manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan
pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar
cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi
kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang
melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya
Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.
Buda Cemeng Kelawu", Hari Keuangan Gaya Bali
RABU (17/12) lalu orang Bali kembali merayakan hari Buda Cemeng Kelawu.
Menurut tradisi Bali, Buda Cemeng Kelawu dimaknai sebagai piodalan pipis, saat
menghaturkan rasa syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas limpahan
karunia uang yang berlimpah. Pada hari itu, orang Bali memuja Hyang Widhi dalam
prabhawa Batari Rambut Sadana yang dimanifestasikan sebagai Dewi Penguasa Uang.
Inilah tradisi lokal yang dapat disejajarkan sebagai Hari Keuangan gaya Bali.
-----------------------
MASYARAKAT di wilayah Bali Timur seperti Gianyar, Bangli, Klungkung
hingga Karangasem, hari Buda Cemeng Kelawu mendapat perhatian khusus.
Masyarakat awam memaknai Buda Cemeng Kelawu sebagai hari piodalan pipis, hari
untuk memuja Batari Rambut Sadana atas karunia kemakmuran dan kesejahteraan
yang melimpah.
Pada hari itu, kebanyakan keluarga menghaturkan piodalan di
sanggah/merajan rumah masing-masing. Belakangan, lembaga-lembaga keuangan
seperti bank mulai mengadakan piodalan atau pujawali di padmasana kantor
masing-masing pada Buda Cemeng Kelawu. Karenanya, Buda Cemeng Kelawu menjadi
begitu semarak dan meriah di seantero Bali.
Memang, dalam lontar Sundarigama disebutkan, Buda Wage Kliwon yang disebut juga
Buda Cemeng Kelawu merupakan saat memuja Batari Rambut Sadana, sang Dewi
penguasa atas uang. Saat itu diyakini sebagai saat beryoganya Batari Rambut
Sadana.
Wayan Budha Gautama dalam buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu disebutkan jenis
widi-widana yang mesti dipersembahkan pada Buda Cemeng Kelawu meliputi suci,
daksina, peras, penek, ajuman, sodaan putih
kuning. Namun, persembahan ini masih bisa berubah lagi sesuai loka dresta
masing-masing daerah.
Tempat menghaturkan persembahan widi-widana tersebut di antaranya parahyangan
antara lain Pura Melanting atau pura-pura lainnya yang memang memiliki arca
lingga Ida Batara Rambut Sadana. Begitu juga di sanggah/merajan serta tempat
penyimpanan uang (brankas) dan tempat penyimpanan beras.
Pantangan Bertransaksi
Yang menarik, ada keyakinan di kalangan sebagian orang Bali mengenai pantangan
untuk bertransaksi menggunakan uang dan sejenisnya saat Buda Cemeng Kelawu. Di
sejumlah daerah juga disebutkan saat Buda Cemeng Kelawu dipantangkan untuk
membayar atau menagih utang-piutang atau pun memberikan/menyedekahkan beras
kepada orang lain.
Bagi orang yang hidup dalam tradisi modern, pantangan semacam ini tentu saja
sulit untuk diterima. Dinamika perekonomian masyarakat yang begitu tinggi
membuat tidak mungkin untuk menghentikan transaksi menggunakan uang dalam
sehari. Menghentikan transaksi berarti juga menghentikan kegiatan ekonomi.
Berhentinya kegiatan ekonomi berarti kerugian.
Namun, pantangan bertransaksi menggunakan uang dan alat pembayaran sejenisnya
di hari Buda Cemeng Kelawu mesti dimaknai sebagai sebuah kearifan lokal Bali
dalam memandang arti dan makna uang. Orang Bali menyadari uang merupakan
sesuatu yang telah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan masyarakat
saat ini. Terlebih lagi di masa serbaparadoks kini. Seperti disuratkan dalam
Nitisastra, di zaman Kaliyuga yang menang adalah ia yang memiliki uang. Dengan
uang, orang kini bisa melakukan apa saja untuk memuaskan keinginannya. Mulai
dari membeli mobil terbaru, rumah mewah hingga membeli jabatan tinggi.
Karena begitu berkuasanya uang di zaman Kaliyuga, orang Bali senantiasa
diingatkan untuk bisa mengendalikan dirinya dalam memandang, memaknai,
memperlakukan serta mencari uang. Saat Buda Cemeng Kelawu, orang Bali
disadarkan betapa uang bukanlah segalanya, uang bukanlah dewa. Dengan
membiarkan uang diam, tidak dibayarkan dan tidak beredar, orang Bali diingatkan
tentang hakikat uang. Yang berkuasa atas segala dunia ini adalah Yang Maha
Agung, Yang Mahasumber, Yang Maha Pencipta.
Orang Bali juga diingatkan untuk mengelola uangnya secara arif dan
proporsional. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan, harta kekayaan, termasuk
uang yang didapat hendaknya dibagi tiga. Sepertiga buat memenuhi keperluan
hidup (kama), sepertiga buat diinvestasikan atau diputar lagi (arta) sehingga menjadi
terus bertambah. Sisanya sepertiga lagi mestilah didermakan, di-yadnya-kan
(dharma). Dharma ini mesti diterjemahkan dalam arti yang lebih luas. Tidak
hanya untuk kepentingan upacara agama, juga untuk membantu saudara-saudara kita
yang kurang mampu, membiayai pendidikan anak-anak miskin.
HARI RAYA AGAMA HINDU
RERAINAN JAGAT
KAJIAN MATERI.
Materi ini
menjadi pilihan topik yang perlu dikaji lebih mendalam. Selama ini, hari-hari
yang dinamakan rerainan lebih
diaktualisasikan dalam suatu bentuk persembahan ( wujud ) ritual berupa banten
dan segehan/caru yang dibingkai
dengan tatanan nista, madya, dan utama, serta dibarengi dengan gerak laku ( karma marga ) yakni
persembahan diri ( persembahyangan ).
LATAR BELAKANG.
Ada baiknya,
perayaan hari raya yang telah berjalan di masyarakat tersebut direnungkan
kembali. Mencari tahu, sejak kapan rerainan
itu mentradisi di Bali ?, Mengapa rerainan
itu ada, tentunya ada makna, tujuan, dan sudah dipastikan harinya ( dewasa ) ?, serta masyarakat sudah
secara turun temurun melaksanakannya tanpa berani merubah, apalagi
meniadakannya. Sebelum melangkah lebih jauh untuk melakukan pengkajian materi
ini, perlu diketahui latar belakang agenda kegiatan ini diadakan.
Berbagai
cerita pengalaman tentang penelusuran kehidupan yang bertujuan mencari tahu apa
yang selama ini telah diamanatkan oleh orang tua kita, yakni orang Bali yang
beragama Hindu. Dan secara jujur, pertanyaan mendasar tersebut sampai hari ini
masih samar pemahamannya. Cobalah tanya diri masing-masing !!! Yang masih kuat
terngiang di benak ini adalah sedari kecil selalu dibuatkan upacara otonan. Dan setiap rerainan seperti Galungan, Kuningan, Pagerwesi, hanya rutin
membantu mempersiapkan sesajen dengan segala atributnya. Jadi, hanya sibuk
dengan beragam kegiatan tanpa mengetahui untuk apa dan mengapa itu dibuat ?
Rutinitas kegiatan itu demikian terpola dalam ingatan sehingga setiap perayaan
hari raya “ harus “ ada banten dan atributnya serta dilengkapi dengan gerak
lakunya ( karma marga ).
Singkat
cerita. Ketika mulai menjalani hidup jauh dari orang tua/keluarga besar,
umumnya kegiatan ritual mulai jarang dilakoni. Nah, bagaimana kalau sampai
menetap di luar Bali, dan dengan hanya berbekal pemahaman akan makna upakara-upacara
masih samar – saru gremeng, khususnya
untuk peringatan hari kelahiran/oton
? Maka waktu peringatan hari kelahiran ( oton
) tersebut akan lewat begitu saja, tanpa ada prosesi apa pun. Begitu pula
dengan perayaan hari raya lainnya seperti galungan, kuningan dan pagerwesi,
umumnya hanya dirayakan sesuai dengan keyakinan yang samar, dan tidak ada
persembahan. Disamping tidak mengerti, yang menjual sarana upakara bebanten pun juga tidak ada. Maka
lengkaplah kegamangan pikiran dan perasaan pada saat itu.
Untuk
menghindari kondisi seperti tersebut itu, sebaiknya kita mengisi diri,
belajar pada salah satu pesantian tempat
pelatihan pembuatan dan penataan banten, serta melaksanakan suatu prosesi
upacara. Proses seperti ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan diri,
memperluas wawasan pengetahuan makna ajaran agama, terutama yang dekat dengan
keseharian kita. Namun, hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk diri sendiri
dan keluarga – anak, menantu, cucu – yang menjadi bagian dari keluarga.
Pertanyaannya,
bagaimana menjadi orang Hindu Bali yang berada jauh dari keluarga besar, dari
masyarakat Hindu, serta dari lingkungan yang mampu menyediakan sarana dan
prasarana upakara dan pelaksanaan upacara ? Apakah pakem seperti itu yang wajib
dilaksanakan ? Bagaimana memandang saudara-saudara kita yang telah meyakini
suatu paham “ impor “ dan telah menjamur di sekitar kita ? Salahkah mereka ?
Mengkritisi
cerita pengalaman tersebut di atas, akhirnya kita perlu merenung bersama.
Hingga tercetuslah kemudian pertanyaan ?, “ Untuk siapa kalender Bali ini
dibuat “? Tentunya ada makna /esensi yang perlu diungkap dan dijabarkan, dengan
harapan agar lebih mudah diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
TUJUAN PENGKAJIAN.
Harus diakui, selama ini ekspresi umat Hindu di Bali,
didominasi dan terfokus pada persembahan keluar berupa banten/sesajen yang bisa dilihat / dinilai orang lain. Seperti
itulah saat ini yang menjadi ukurannya. Sudah semestinya dibuatkan suatu tata
cara belajar yang sesuai dengan penjenjangan hidup, dengan mengambil spirit Catur Asrama sebagai terminalnya. Pola
pikir masyarakat ( manusia ) pada umumnya sering melawan hati nuraninya,
menggilas rasa yang bersemayam dalam sanubari ( adnya ), dan membiarkan “ sang pikir “ ( jnyana ) berkuasa sebagai pengendali atas dirinya.
Berikut ini, rerainan
yang lumrah diperingati oleh umat Hindu Sedharma, yakni :
- Saniscara
Kliwon Nawa Uye, ~ Tumpek Kandang.
- Buda
Wage Menail, ~ Buda Cemeng Menail.
- Wraspati
Kliwon Menail, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
- Sukra
Umanis Menail, ~ Hari Bhatari Shri.
- Anggara
Kliwon Prangbakat, ~ Anggara Kasih Prangbakat.
- Sukra
Kliwon Bala, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.
- Buda
Kliwon Ugu.
- Saniscara
Kliwon Wayang, ~ Tumpek Wayang.
- Buda
Wage Kelawu, ~ Buda Cemeng Kelawu.
- Sukra
Umanis Kelawu, ~ Hari Bhatari Shri.
- Anggara
Kliwon Dukut, ~ Anggara Kasih Dukut.
- Redite
Kliwon Watugunung, ~ Kajeng Kliwon Pemelastali / Watugunung runtuh.
- Anggara
Pahing Watugunung, ~ Hari Paid-paidan.
- Buda
Pon Watugunung, ~ Hari Urip.
- Wraspati
Wage Watugunung, ~ Hari Patetegan.
- Sukra
Kliwon Watugunung, ~ Hari Pangeredanan.
- Saniscara
Umanis Watugunung, ~ Hari Saraswati.
- Redite
Pahing Dasa Sinta, ~ Hari Banyu Pinaruh.
- Soma
Pon Dasa Sinta, ~ Hari Soma Ribek.
- Anggara
Wage Dasa Sinta, ~ Hari Sabuh Mas.
- Buda
Kliwon Dasa Sinta, Hari Pagerwesi.
- Soma
Kliwon Landep, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
- Sanicara
Kliwon Landep, ~ Tumpek Landep.
- Redite
Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
- Buda
Wage Ukir, ~ Buda Cemeng Ukir.
- Sukra
Umanis Ukir, ~ Hari Bhatari Shri.
- Anggara
Kliwon Kulantir, ~ Anggara Kasih Kulantir, dan Kajeng Kliwon Enyitan.
- Soma
Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara-Bhatari di Merajan.
- Buda
Kliwon Gumbreg dan Kajeng Kliwon Uwudan.
- Saniscara
Kliwon Wariga, ~ Tumpek Uduh/Pengatag.
- Buda
Wage Warigadian, ~ Buda Cemeng Warigadian.
- Wraspati
Kliwon Warigadian, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.
- Sukra
Umanis Warigadian, ~ Hari Bhatari Shri.
- Anggara
Kliwon Julungwangi, ~ Anggara Kasih Julungwangi.
- Wraspati
Wage Eka Sungsang, ~ Hari Sugian Jawa.
- Sukra
Kliwon Sungsang, ~ Hari Sugian Bali, Kajeng Kliwon Uwudan.
- Redite
Pahing Dungulan, ~ Hari Penyekeban.
- Soma
Pon Dungulan, ~ Hari Penyajaan Galungan.
- Anggara
Wage Dungulan, ~ Hari Penampahan Galungan.
- Buda
Kliwon Dungulan, ~ Hari Raya Galungan.
- Wraspati
Wage Dungulan, ~ Hari Umanis Galungan.
- Saniscara
Pon Dungulan, ~ Hari Pemaridan Guru.
- Redite
Wage Kuningan, ~ Hari Ulihan.
- Soma
Kliwon Kuningan, ~ Pemacekan Agung.
- Saniscara
Kliwon Kuningan, ~ Hari Raya Kuningan. Tumpek Kuningan. Kajeng Kliwon
Enyitan.
- Buda
Wage Langkir, ~ Buda Cemeng Langkir.
- Sukra
Umanis Langkir, ~ Hari Bhatari Shri.
- Anggara
Kliwon Medangsia, ~ Anggara Kasih Medangsia.
- Redite
Kliwon Pujut, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
- Buda
Kliwon Pahang, ~ Pegatwakan.
- Soma
Kliwon Krulut, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.
- Saniscara
Kliwon Krulut, ~ Tumpek Krulut.
- Buda
Wage Merakih, ~ Buda Cemeng Merakih.
- Sukra
Umanis Merakih, ~ Hari Bhatari Shri.
- Anggara
Kliwon Dwi Tambir, ~ Anggara Kasih Tambir. Kajeng Kliwon Uwudan.
- Anggara
Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi / Bhatara Brahma di Merajan
Kawitan.
- Buda
Kliwon Matal, dan Kajeng Kliwon Enyitan.
- Anggara
Kliwon Dukut, ~ Anggara kasih Dukut.
- Redite
Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
- Soma
Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara/Bhatari di Merajan.
- Anggara
Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi/ Bhatara Brahma di Merajan
Kawitan.
- Buda
Pon Medangkungan, ~ Melakukan Upakara Nangluk Merana.
TUMPEK :
¯ Saniscara
Kliwon Nawa Uye, ~ Tumpek Kandang.
¯ Saniscara
Kliwon Wayang, ~ Tumpek Wayang.
¯ Saniscara
Kliwon Landep, ~ Tumpek Landep.
¯ Saniscara
Kliwon Wariga, ~ Tumpek Uduh/Pengatag/Wariga.
¯ Saniscara
Kliwon Krulut, ~ Tumpek Krulut.
¯ Saniscara
Kliwon Kuningan, ~ Tumpek Kuningan.
PURNAMA – TILEM :
¯ Purnama
Sasih Kelima ; Tilem Sasih Kelima.
¯ Purnama
Sasih Keenam. ; Tilem Sasih Keenam.
¯ Purnama
Sasih Kepitu. ; Tilem Sasih Kepitu.
¯ Purnama
Sasih Kewulu. ; Tilem Sasih Kewulu.
¯ Purnama
Sasih Kesanga. ; Tilem Kesanga.
¯ Purnama
Sasih Kedasa. ; Tilem Kedasa.
¯ Purnama
Sasih Jiyesta. ; Tilem Sasih Jiyesta.
¯ Purnama
Sasih Sadha. ; Tilem Sasih Sadha.
¯ Purnama
Sasih Kasa. ; Tilem Sasih Kasa.
¯ Purnama
Sasih Karo. ; Tilem Sasih Karo.
¯ Purnama
Sasih Ketiga. ; Tilem Sasih Ketiga.
¯ Purnama
Sasih Kapat. ; Tilem Sasih Kapat.
KAJENG KLIWON :
¯ Kajeng
Kliwon Uwudan.
¯ Kajeng
Kliwon Enyitan.
¯ Redite
Kliwon Watugunung, ~ Kajeng Kliwon Pemelastali.
ANGGARA KASIH :
¯ Anggara
Kliwon Prangbakat, ~ Anggara Kasih Prangbakat.
¯ Anggara
Kliwon Dukut, ~ Anggara kasih Dukut.
¯ Anggara
Kliwon Kulantir, ~ Anggara Kasih Kulantir.
¯ Anggara
Kliwon Julungwangi, ~ Anggara Kasih Julungwangi.
¯ Anggara
Kliwon Medangsia, ~ Anggara Kasih Medangsia.
¯ Anggara
Kliwon Dwi Tambir, ~ Anggara Kasih Tambir.
Uku Watugunung, hari raya SARASWATI :
¯ Redite
Kliwon Watugunung, ~ Watugunung runtuh.
¯ Anggara
Pahing Watugunung, ~ Hari Paid-paidan.
¯ Buda Pon
Watugunung, ~ Hari Urip.
¯ Wraspati
Wage Watugunung, ~ Hari Patetegan.
¯ Sukra Kliwon
Watugunung, ~ Hari Pangeredanan.
¯ Saniscara
Umanis Watugunung, ~ Hari Saraswati, Turunannya Ilmu Pengetahuan.
Uku Sinta, hari raya PAGERWESI :
¯ Redite
Pahing Dasa Sinta, ~ Hari Banyu Pinaruh.
¯ Buda Kliwon
Dasa Sinta, ~ Hari Pagerwesi.
Hari raya SIWARATRI
Uku Sungsang – Dungulan, hari raya GALUNGAN :
¯ Wraspati
Wage Eka Sungsang, ~ Hari Sugian Jawa.
¯ Sukra Kliwon
Sungsang, ~ Hari Sugian Bali.
¯ Redite
Pahing Dungulan, ~ Hari Penyekeban.
¯ Soma Pon
Dungulan, ~ Hari Penyajaan Galungan.
¯ Anggara Wage
Dungulan, ~ Hari Penampahan Galungan.
¯ Buda Kliwon
Dungulan, ~ Hari Raya Galungan.
¯ Wraspati
Wage Dungulan, ~ Hari Umanis Galungan.
¯ Saniscara
Pon Dungulan, ~ Hari Pemaridan Guru.
Uku Kuningan, hari raya KUNINGAN :
¯ Redite Wage
Kuningan, ~ Hari Ulihan.
¯ Soma Kliwon
Kuningan, ~ Pemacekan Agung.
¯ Sukra Wage
Kuningan, ~ Penampahan Kuningan.
¯ Saniscara
Kliwon Kuningan, ~ Hari Raya Kuningan.
Uku Pahang :
¯ Buda Kliwon
Pahang, ~ Pegatwakan.
Hari raya NYEPI :
¯ Melasti,
Pekiyisan ke Segara/mata air suci.
¯ Tilem
Kesanga dan Melakukan Bhuta Yadnya/Tawur Agung Kesanga/Mecaru, Ngerupuk.
¯ Nyepi, Tahun
Baru Saka. Melakukan Catur Berata Penyepian dan Meditasi.
¯ Ngembak
Geni.
HARI BHATARI SHRI :
¯ Sukra Umanis
Menail,
¯ Sukra Umanis
Kelawu,
¯ Sukra Umanis
Ukir,
¯ Sukra Umanis
Warigadian,
¯ Sukra Umanis
Langkir,
¯ Sukra Umanis
Merakih,
¯ Sukra Umanis
Merakih,
LAINNYA :
¯ Buda Cemeng
Menail.
¯ Buda Kliwon
Ugu.
¯ Buda Wage
Kelawu, ~ Buda Cemeng Kelawu.
¯ Redite
Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
¯ Buda Wage
Ukir, ~ Buda Cemeng Ukir.
¯ Soma Umanis
Tulu, ~ Memuja Bhatara-Bhatari di Merajan.
¯ Buda Kliwon
Gumbreg.
¯ Buda Wage
Warigadian, ~ Buda Cemeng Warigadian.
¯ Buda Wage
Merakih, ~ Buda Cemeng Merakih.
¯ Buda Kliwon
Matal.
¯ Anggara
Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi / Bhatara Brahma di Merajan Kawitan.
¯ Redite
Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
¯ Soma Umanis
Tulu, ~ Memuja Bhatara/Bhatari di Merajan.
Demikian padat kegiatan rerainan yang diperingati umat di Bali.
Belum lagi masyarakat berbicara perihal
upacara di pura-pura seperti : Kahyangan
Jagat, Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga, Dadia
Keluarga. Lain lubuk lain ikannya, maksudnya, masing-masing desa Pakraman
punya awig-awig adat, dengan kesepakatan inti adalah ngerombo karya.
Namun sesungguhnya, kalau dicermati secara lebih
mendalam, bahwa apa yang telah diwariskan tetua dalam berbagai perayaan ini
sudah diatur sedemikian rupa. Ada keselarasan antara jaba dan jero yang oleh
para tetua jadikan laku-fisik ( karma yoga ). Laku-jaba, adalah pelaksanaan persembahan berupa
wujud/simbol-simbol/sesaji untuk Sang Pencipta. Sedangkan laku-jero, melaksanakan brata, yasa, ( yoga, Samadhi ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar