Rabu, 31 Agustus 2016

Rerahinan

RERAINAN

Hari Raya agama Hindu berdasarkan Kalender Bali

1. Setiap Bulan
PURNAMA
Rerainan purnama jatuh setiap 30 hari sekali. Pada hari ini seluruh pura - pura di Bali biasanya ramai oleh umat yang melakukan persembahyangan. Pada rerainan Purnama beryogalah Sang Hyang Candra (bulan) yang merupakan hari penyucian oleh Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra. Rerainan Purnama merupakan sebuah momentum guna mengintrospeksi diri, bersujut dihadapan Tuhan dan kembali kepada keseimbangan (Rwa Bhineda) sekala dan niskala. Disamping itu pada rerainan Purnama vibrasi suci akan terpancar dari sinar rembulan sehingga sangat baik untuk melaksanakan yoga Samadhi. Pada hari ini umat melakukan persembahyangan dimulai dari merajan / kemulan masing - masing, merajan dadia, Pura Kahyangan Tiga dan jika memungkinkan sangat baik untuk melakukan Tirta Yatra.

TILEM

Rerainan tilem merupakan pemujaan Sang Hyang Surya, dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali. Tilem juga merupakan rerainan penyucian oleh Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra, yang mempunyai makna sama dengan rerainan Purnama.

 Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan) maka dilakukanlah pemujaan Candra Sthawa/ Soma Sthawa, dan pada waktu Surya Graha (gerhana matahari) dilakukan pemujaan Surya Cakra Bhuwana Sthawa.



ANGGARA KASIH
 Anggara Kliwon adalah rerainan yang datang setiap pertemuan Saptawara Anggara dengan Pancawara Kliwon, juga sering disebut dengan Anggara Kasih. Pada rerainan ini Sang Hyang Ayu dan Sang Hyang Rudra beryoga melimpahkan anugrah beliau. Pada hari ini umat menghaturkan canang dan melakukan persembahyangan memohon wara nugraha beliau agar menglebur segala keletehan / kekotoran dunia.

KAJENG KLIWON
Rerainan kajeng kliwon datangnya setiap 15 hari sekali yaitu pada saat pertemuan Triwara Kajeng dengan Pancawara Kliwon. Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh pada Pangelong atau periode hingga 15 hari setelah Purnama. Kajeng kliwon merupakan hari pemujaan terhadap Sanghyang Siwa, yang diyakini pada hari tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Rerainan kajeng kliwon dipercaya sebagai hari yang keramat. Pada hari kajeng kliwon umat menghaturkan segehan yang dihaturkan kepada Sang Hyang Dhurga Dewi, di tanah segehan dihaturkan kepada Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Dhurga Bucari.
Kajeng Kliwon ini umat hindu membuat sesajen: Ajuman, Dampulan, dan Segehan yang akan dipersembahkan di merajan masing-masing,
Banten Ajuman dihaturkan disanggah Surya, Betara Yang Guru dan di Dewayang. Sedangkan banten Dampulan dihaturkan dipelinggih Taksu, Ratu Ngurah dan di Penunggun Karang, yang terakhir adalah Segehan, Segehan ini dihaturkan untuk Para Bhuta Kala agar rumah kita terhindar dari gangguan para Bhuta Kala maka dari itu kita sangat perlu sekali menghaturkan banten segehan pada saat hari Kajeng Kliwon.

Pada setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Adapun penjelasannya diambil dari Cundarigama.




Pancawara Kliwon
Mwah ana manut Pancawara Kliwon ngaran, samadhin bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh  ring natar sanggar mwah dengen, dening: segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. Ikang wehana laba nangken kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya.

Artinya :
Dan pada hari pancawara, yakni setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di pemerajan, dan diatas tempat tidur, sedangkan yang patut disuguhkan di halaman rumah, ialah segehan kepel 2 kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut diatas disuguhkan 3 tanding yakni : di halaman sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman rumah kepada Kala Bhucari. 
Adapun meksud memberikan laba setiap hari Kliwon, ialah untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi bahagia.

Byantara Kliwon
Kunang ring byantara kliwon, prakrtinia kayeng lagi,  kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur; canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna wwang maumah, yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wwang adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga. Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun.

Artinya :
Lain lagi pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah: canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan dibawahnya, untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang Kala Tiga bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatara Durga Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan/ menyebarkan penyakit, dan mengundang para pengiwa, segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah, yang mengakibatkan perginya para Dewata semua, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sanghyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatara Durga. Demikianlah agar disadari, dan jangan menentang pada petunjuk kami.


BUDA KLIWON
1.  BUDA KLIWON UGU
2.  BUDA KLIWON PAHANG
3.  BUDA KLIWON MATAL
4.  BUDA KLIWON GUMBREG


BUDA CEMENG
1.  BUDA CEMENG KLAWU
Upacara Buda Cemeng Klawu atau disebut juga Buda Wage Klawu adalah upacara pemujaan dan permohonan doa agar mendapat rezeki atau dibukakan pintu rezeki, upacara ini juga sebagai ungkapan terima kasih karena telah diberikan kekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan kepada manusia dan umat Hindu khususnya. Dewa yang di sembah adalah Ida Betari Rambut Sedana atau dikenal juga sebagai Dewi Laksmi, melalui manifestasinya Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam perkembangannya, upacara Buda Cemeng Klawu ini lebih dikhususkan dalam perwujudan sebagai bentuk simbol uang.
Upacara Buda Cemeng Klawu ini jatuh pada hari Rabu Wage wuku Klawu kalender Bali. Menurut adat istiadat  umat Hindu di Bali meyakini Ida Betari Rambut Sedana/Dewi Laksmi sedang melaksanakan yoga dan di percaya juga pada hari ini tidak diperbolehkan menggunakan uang untuk hal-hal yang sifatnya tidak kembali berupa wujud barang, misalnya membayar hutang atau menabung, karena dipercaya uang/kekayaan tersebut nantinya tidak dapat kembali selamanya dan menghilang oleh sifat tamak/serakah kita sebagai manusia.
Dalam memperingati Buda Cemeng Klawu, umat Hindu di Bali dingingatkan kembali akan keberadaan artha yang ada dalam Catur Purusaartha Artha, Kama, Dharma dan Moksa. Pengertian Artha disini tidak  dalam sebatas kekayaan saja, namun juga mengandung arti dan  tujuan dalam bentuk kemakmuran materi. Artha juga mencakup konsep dalam arti mencapai ketenaran, dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi, yang akan berhubungan dengan proses pencapaian dari satu tujuan yaitu kebenaran. Dalam cara pandang yang lain, Artha ditempatkan juga sebagai salah satu kewajiban seseorang dalam kehidupan untuk mengumpulkan harta benda sebanyak mungkin, namun dengan syarat jangan menjadi serakah, dan bertujuan untuk membantu dan menolong keluarga serta orang lain yang membutuhkannya.
Upacara Buda Cemeng Klawu ini dilakukan oleh seluruh umat Hindu di Bali, terutama mereka yang membuka usaha perdagangan, misalnya pedagang di pasar, pemilik warung, restaurant, jasa keuangan, bengkel, bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan yang mengalirkan dana secara cepat dalam menjalankan perusahaaan. Biasanya pada setiap tempat yang digunakan untuk menyimpan uang, diberikan sesajen khusus untuk menghormati Ida Betara Sedana atau Dewi Laksmi sebagai ujud ungkapan rasa terima kasih atas pemberian-Nya.
Menurut kekawin Nitisastra IV.7 ada dinyatakan sebagai berikut: Singgih yan tekaning yuganta kali tan hana lewiha sakeng mahadhana. Tan waktan guna sura pandita widagdha pada mengayap ring dhaneswara. Artinya: kalau zaman kali sudah datang tidak ada yang lebih bernilai daripada uang. Sudah susah dikatakan para ilmuwan, pemberani, orang suci maupun orang yang kuat semuanya pelayan orang kaya.
Dari sumber Susastra Hindu tersebut diatas dapat dipahami bahwa uang itu pada hakikatnya adalah sarana bukan tujuan hidup, jadi tergantung cara manusia menggunakan sarana tersebut. Bila uang tersebut di dapat dan digunakan sesuai berdasarkan konsep ketuhanan maka uang itu amat berguna mengantarkan manusia mendapatkan hidup bahagia lahir batin, namun sebaliknya jika uang tersebut di anggap sebagai tujuan yang dianggap paling bernilai maka uang itu akan dapat membawa kesengsaraan. Karena itu tempatkanlah uang tersebut sebagai alat mewujudkan Dharma/kebenaran/kebaikan.

2.  BUDA CEMENG WARIGADIAN
3.  BUDA CEMENG LANGKIR
4.  BUDA CEMENG MERAKIH
5.  BUDA CEMENG MENAIL
6.  BUDA CEMENG UKIR




TUMPEK
1.  Tumpek landep
 
Rerainan tumpek landep jatuh pada hari Saniscara Wuku Landep yang datangnya setiap enam bulan sekali. tumpek Landep adalah pemujaan kepada Sanghyang Siwa dalam wujudnya sebagai Sanghyang Pasupati yang memberi taksu atau tuah kepada semua pusaka atau senjata. Pada hari ini umat melakukan penyucian dan pemujaan terhadap pusaka leluhur baik itu berupa keris, tombak dan sebagainya agar tetap bertuah. Adapun makna dari Tumpek Landep adalah agar umat senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi sehingga memperoleh tuah / pasupati berupa pikiran yang tajam (landep) agar bisa memilah - milah mana yang baik dan yang buruk.

Adapun upakara yang dihaturkan adalah tumpeng putih kuning dan danan dengan ulam sesuai dengan kemampuan, gerang trasi bang, sedah woh yang dihaturkan di sanggah dan dipersembahkan kepada Sang Hyang Siwa, lalu nedunang dan ngiasa semua Pusakan/pajenengan yang dimiliki, dengan upakaranya Sesayut jayeng perang, sesayut kusuma yuida, suci daksina, peras, canang wangi-wangian yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Pasupati

2.  Tumpek Uduh
Rerainan tumpek  uduh disebut juga hari raya Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah, Tumpek Pengatag, atau Tumpek Bubuh, jatuh pada Saniscara Kliwon Wariga. Hari ini adalah hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh- tumbuhan (pohon-pohonan). Beliau memelihara agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup dan terhindar dari hama penyakit, agar supaya memberikan hasil yang baik dan berlimpah, melebihi dari yang sudah-sudah dan hemat walaupun dipakai atau dimakan.
Tumpek uduh merupakan awal dari rentetan hari raya galungan dimana Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh ini jatuh 25 hari sebelum hari Raya Galungan.
Pada Tumpek Uduh ini Umat hindu akan melakukan upacara persembahan kepada tumbuh tumbuhan yang berperan penting terhadap kehidupan Manusia.
Pada Saat melakukan Upacara ini biasanya umat melantunkan sahe, seperti mantra tetapi bukan mantra. Bunyinya seperti ini : “ Kaki-kaki buin selai lemeng Galungane mangde mebuah ngeed, ngeed ngeed “. Seperti itu kira kira komat kamit yang diucapkan umat saat menghaturkan sesajen yang berisi bubur di depan tumbuhan.
Bebantenan untuk selamatan ini adalah: peras, tulung sesayut tumpeng, bubur gendar, tumpeng agung, penyeneng, tetebus dan serba harum-haruman. Lauknya guling babi atau itik.
Widhi-widhana untuk keluarga dan diri sendiri : sesayut cakrageni, dan dupa harum, dipersembahkan dalam suasana hening cipta menjernihkan segenap pikiran menuju ketenangan bathin yang mengakibatkan timbulnya adnjana sandhi.

3.  Tumpek Krulut

Tumpek Krulut adalah upacara yadnya yang dirayakan setiap sabtu kliwon wuku krulut sebagai sujud syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara atas terciptanya suara-suara suci/tabuh dalam keindahan dan seni.
Tujuannya adalah agar perangkat suara untuk kelengkapan upacara tersebut memiliki suara yang indah dan “taksu”. Dari alunan nada tersebut akan melahirkan gerak-gerak nan indah sebagai unsur seni.
Dalam Hindu Bali, Tumpek Krulut itu berasal dari kata lulut yang artinya hati menyatu dengan keindahan (sundaram) sehingga pikiran menjadi damai. Tumpek Krulut jg merupakan hari kasih sayang
Kasih sayang itu diwujudkan dalam bentuk keindahan, dalam hal ini suara gamelan. Yang dipuja juga dalam Tumpek Krulut adalah Ida Sanghyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Semara Ratih. Karena itu banten yang dihaturkan adalah sesayut lulut asih.

4.  Tumpek Kandang
Jatuh pada Saniscara Kliwon Uye.
Disebut juga Tumpek Wewalungan /Oton Wewalungan atau Tumpek Kandang atau tempek uye,  yaitu hari selamatan binatang-binatang piaraan (binatang yang dikandangkan) atau binatang ternak (wewalungan). Hari ini datang setiap enam bulan (210 hari) sekali. Pada hari ini umat Hindu membuat upacara memuja keagungan Tuhan Yang Mahaesa sebagai Siva atau Pasupati, yang memelihara semua makhluk di alam semesta ini. Pemujaan kepada Tuhan Yang Mahaesa ini diwujudkan dengan memberikan upacara selamatan terhadap semua bintang, khususnya binatang ternak atau piaraaan.
Untuk bebanten selamatan bagi binatang tersebut berbeda-beda menurut macam / golongan binatang-binatang itu antara lain:
·         Untuk bebanten selamatan bagi sapi, kerbau, gajah, kuda, dan yang semacamnya dibuatkan bebanten: tumpeng tetebasan, panyeneng, sesayut dan canang raka.
·         Untuk selamatan bagi babi dan sejenisnya: Tumpeng-canang raka, penyeneng, ketipat dan belayag.
·         Untuk bebanten sebangsa unggas, seperti: ayarn, itik, burung, angsa dan lain-lainnya dibuatkan bebanten berupa bermacam-macarn ketupat sesuai dengan nama atau unggas itu dilengkapi dengan penyeneng, tetebus dan kembang payas.
Di sanggah / merajan dilakukan pemujaan, pengastawa Sang Rare Angon yaitu dewanya ternak dengan persembahan (hayapan / widhi-widhana) berupa suci, peras, daksina, penyeneng, canang lenga wangi, burat wangi dan pesucian.

5.  Tumpek Wayang

Upacara ini diperingati pada  Saniscara Kliwon Wayang,
6 bulan (210 hari) sekali yang merupakan rentetan dari Hari Haya Galungan.  Pada hari ini adalah Puja Walinya Sang Hyang Iswara. Hari ini umat Hindu di Bali menghaturkan upacara menuju keutamaan tuah pratima-pratima dan wayang, juga kepada semua macam benda seni dan kesenian, tetabuhan, seperti: gong, gender, angklung, kentongan dan lain-lain.

Bebantennya yaitu : suci, peras, ajengan, sedah woh, canang raka, pesucian dengan perlengkapannya dan lauknya itik putih.

Upakara dihaturkan ke hadapan Sanghyang Iswara, dipuja di depan segala benda seni dan kesenian agar selamat dan beruntung dalam melakukan pertunjukan-pertunjukan, menarik dan menawan hati tiap-tiap penonton.

Untuk pecinta dan pelaku seni, upacara selamatan berupa persembahan bebanten: sesayut tumpeng guru, prayascita, penyeneng dan asap dupa harum, sambil memohon agar supaya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam menciptakan majunya kesenian dan kesusastraan.


Namun ada hal yang lebih menarik di Bali berkenaan dengan hari tumpak wayang ini, apabila anak lahir pada hari yang sama waktu wuku wayang maka dianggap keramat. Umat Hindu meyakini bahwa anak yang dilahirkan pada hari tersebut patut diselenggarakan upacara lukatan besar yang disebut sapuh leger, agar anak yang baru dilahirkan itu terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala.
Dalam lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang(cf. Gedong Kirtya, Va. 645). Atas dasar isi lontar tersebut, maka anak yang lahir bertepatan dengan hari ini  harus melaksanakan kegiatan upacara pementasan Wayang Sapuh Leger dengan peralatan yang lengkap berikut sesajennya. Umat Hindu Bali percaya dan meyakini bahwa anak yang lahir pada Tumpek Wayang memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki nilai cemer (kotor) yang membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung malapetaka, akibat dikejar-kejar Dewa Kala. Dengan upacara mementaskan Wayang Sapuh Leger ini si anak yang baru lahir tersebut di yakini dapat terhindar  dari kejaran Dewa Kala dan juga dapat memusnahkan sifat-sifat negatif  pada anak tersebut.

2. Setiap 6 Bulan
SARASWATI


Hari ini adalah hari pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, yaitu perayaan hari turunnya ilmu pengetahuan. Pada hari ini umat melakukan upacara khusus terhadap lontar dan pustaka suci sebagai wujud syukur atas Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberi ilmu pengetahuan sebagai bekal bagi umat didalam menjalani kehidupan. Pada hari ini sangat baik untuk melakukan semadi ataupun makemit di pura dengan membaca lontar, kitab suci ataupun wirama sebagai wujud bhakti dan syukur kepada Sang Hyang Aji Saraswati sebagai dewaning pangweruh.



BANYU PINARUH

 
Pada hari ini umat melakukan penyucian diri dengan mandi menggunakan air kumkuman (air bersih bercampur bunga harum) ataupun ke pantai dan sumber mata air guna memohon penglukatan kepada Sang Hyang Aji Saraswati agar diberikan pemikiran yang suci dan jernih sehingga memperoleh kecerdasan berfikir dalam mempelajari ilmu pengetahuan



SOMA PON SINTA/SOMA RIBEK
 
Pada hari soma Ribek adalah payogan Sanghyang Sri Amretha. Pada hari ini Umat Hindu melakukan Widhi Widana atau pemujaan pemujaan kepada Sanghyang Tri pramana yaitu Dewi Sri, Sadhana, dan dewi Saraswati, dengan menghaturkan upakara di lumbung dan di Pulu (tempat beras). Adapun upakara yang dihaturkan adalah nyahnyah,gringsing, geti-geti, pisang mas dan wangi-wangian sebagai tanda syukur atas wara nugraha berupa amertha (makanan) dan semoga tetap diberikan kesuburan.

 Pada hari coma ribek umat Hindu pantang untuk menumbuk padi dan yang sejenisnya serta menjual beras.







PAGERWESI
 
Hari rerainan buda klwion Sinta atau Pagerwesi datang setiap enam bulan sekali. Pagerwesi adalah hari pemujaan kepada Sanghyang Pramesti Guru karena pada hari buda kliwon sinta adalah payogan Hyang Siwa dalam manifestasi beliau sebagai Sanghyang Pramesti Guru, yang diikuti oleh payogan Sanghyang Panca Dewata, yaitu Sang Hyang Iswara di timur, Sang Hyang Brahma di selatan, Sang Hyang Mahadewa di barat, Sang Hyang wisnu di utara dan Sang Hyang Siwa di tengah, yang melambangkan pangider ider atau penguasa semua arah. Pagerwesi berarti pagar atau benteng besi yang mempunyai makna agar umat senantiasa menjaga kesuciannya dan membentengi diri dari segala arah terhadap godaan dan gangguan dari hal - hal yang dapat merugikan dan menjerumuskan. Adapun upakaranya adalah suci, peras penyeneng, sesayut panca lingga, penek, rayunan denga raka-rakanya, wangi-wangian, asep menyan astanggi, yang dihaturkan di rong tiga, dan di bawah mempersembahkan segehan mancawarna yang ditujukan kepada sang panca maha bhuta. Pada Hari ini umat natab sesayut pageh urip dan prayascita dan pada tengah malam melakukan yoga semadi memohon petunjuk jalan untuk menuju keselamatan.




GALUNGAN
Hari raya Galungan yang merupakan hari raya besar bagi Umat Hindu diperingati setlap 210 hari berdasarkan perhitungan pawukon yakni jatuh pada hari Rabu/Buda pancawara Kliwon, wuku Dungulan.
Peringatan hari raya dalam agama Hindu menggunakan perhitungan sebagai berikut: 
1.     Berdasar sasih, melihat peredaran bulan di langit jatuh setiap tahun seperti hari-hari raya Nyepi, Siwalatri bila dihitung kurang lebih setiap 365 hari.
2.    Berdasarkan pawukon, yang diperingati setiap 210 hari seperti hari raya Galungan, Kuningan, Pagerwesi dan Saraswati.
Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata Dungulan yang artinya menang atau unggul. Hari Raya Galungan mempunyai makna memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma, secara rohani manusia mengendalikan hawa nafsu yang sifatnya mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekspresi dalam kegiatan sehari-hari baik secara individu maupun kelompok. Hawa nafsu dalam diri kita dikenal dengan nama Kalatiga yakni tiga macam kala secara hersama-sama dimulai sejak hari Minggu sehari sebelum penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa (Penampahan Galungan). Yang dimaksud tiga kala yakni:
1.     Kala Amangkurat yakni nafsu yang selalu ingfn berkuasa, ingin menguasai segala keinginan secara batiniah dan nafsu ingin memerintah bila tidak terkendali tumbuh menjadi nafsu serakah untuk mempertahankan kekuasaan sekalipun menyimpang dati kebenaran.
2.    Kala Dungulan yang berarti segala nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai oleh ternan kita atau orang lain;
3.    Kala Galungan yakni nafsu untuk menang dengan berbagai dalih dan cara yang tidak sesuai dengan norma maupun etika agama.

Hari raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu Sedah disebut sebagai "Kadung gulaning parangmuka" lebih jauh dijelaskan musuh yang dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia yang terlebih dahulu harus dikalahkan. Musuh dimaksud adalah : kenafsuan (kama), kemarahan (kroda), keserakahan (mada), irihati (irsya) atau semua tergolong dalam Sadripu maupun Satpa Timira

 Sebagaimana kita ketahui kisah tersebut telah tertuang dalam kitab mahabharata yang termasuk ltihasa sangat utama dalam sastra Hindu. Dalam kitab tersebut tertulis betapa perjuangan Pandawa dalam memerangi Adharma untuk menegakkan Dharma.
 Sang Darma Wangsa adalah keluarga yang selalu menegakkan dharma beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang (Satyam eva Jayate). Lain halnya dengan maha kawi Danghyang Nirartha, beliau melahirkan sebuah karya kekawin Maya Danawantaka, Dalam ceritanya dikisahkan seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa di punggung gunung Ksitipogra dan pusat pemerintahannya diseputaran danau Batur daerah Kintamani, Bangli di Bali. Setelah dia mendapat anugrah dalam pertapaannya ternyata kelobaannya menjadi-jadi, sehingga rakyatnya di wilayah pemerintahannya menjadi ketakutan, Si Mayadanawa tidak hanya mengumpulkan emas, kekayaan, dia melarang melakukan yadnya, bersama tentaranya merusak, mengacau, menyakiti, menghina sastra dan ajaran agama.
 Oleh karena kejahatannya, diutuslah Dewa Siwa untuk memeranginya. Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pasukan Dewa Siwa dengan Mayadenawa. Karena kesaktiannya Mayadanawa menciptakan tirta cetik, sehingga pasukan Desa Siwa yang sedang kehausan meminumnya, semua pasukan Dewa Siwa Mati. Singkat cerita Dewa Siwa mengetahui kejadian tersebut sehingga Dewa Siwa menciptakan tirta empul (pengurip) yang sekarang disebut tirta empul, diperciki pasukan yang mati hidup kembali. Peperangan harus berlanjut sehingga Mayadanawa terkepung tentaranya mati, dia lari tunggang langgang segala macam taktik tipu muslihat dipergunakan. Mayadanawa lari agar tapak kakinya tidak dilihat, dia lari dengan tungkai yang miring namun tetap diketahui oleh Pasukan Dewa Siwa sehingga sebagai bukti tempat itu sampai sekarang disebut desa Tapak Siring (Tampak Siring) asal kata dan telapak kaki miring. Kemudian Maya Danawa lari bersembunyi di pohon kelapa pada pucuk kuncup/pada busung kelapa tetap dapat dilacak oleh pasukan Dewa Siwa sampai sekarang tempat itu dinamakan desa Blusung. Akhir cerita karena Mayadenawa dipihak yang salah peperangan dimenangkan oleh Pasukan Dewa Siwa dan Mayadenawa mati. Demikian sejarah hari Galungan.
 Menyambut han Raya Galungan umat Hindu hendaknya benar-benar dapat mengendalikan tiga nafsu ingin berkuasa, ingin mengalahkan, ingin menang sehingga di hari Rabu/di hari Galungan dapat menegakkan dan mengibarkan panji-panji kemenangan dan kemerdekaan spiritual. Kita dapat melepaskan pikiran kita dari kesusahan, sehingga merasa tenang, tenteram gembira baik secara individu, keluarga, serta seluruh umat agar dapat menatap, merencanakan hari depan semakin cerah. Sebagai simbul kemenangan, kegembiraan, rasa syukur sehari sebelum Galungan umat Hindu menancapkan Penjor-penjor di pintu gerbang/jalan masuk halaman rumah yang mempunyai makna segala sumber kehidupan disediakan di bumi, penjor sebagai lambang gunung yang merupakan segala sumber kemakmuran yang diperlukan oleh seluruh mahluk. Gunung sebagai sumber sandang, pangan dan papan, penghasil udara dan air oleh karena itu disimbulkan dengan penjor dengan segala hiasan sesuai seni dan budaya umat Hindu masing-masing, dilengkapi dengan hasil bumi pala bungkah (umbi-umbian) dan pala gantung (buah-buahan) dan juga dilengkapi dengan kain putih kuning yang melambangkan panji-panji keheningan ketulus-ikhlasan dan kesucian rohani.
Seperti dikatakan dalam Slokantara sloka ke 33" yaitu :
"Jika diwaktu bulan purnama dan bulan mati (tilem) para dermawan memberikan dana punia akan diterima kembali balasannya satu lawan sepuluh oleh Hyang Widhi. Kalau waktu gerhana bulan dan gerhana matahari akan dikembalikan seratus kali, jika pengorbanan dilakukan pada hari-hari pemujaan arwah leluhur balasannya seribu kali, kalau dilakukan pada akhir zaman Kaliyuga akan dikembalikan dalam jumlah yang tidak terhingga".
 Yadnya dan dana mempunyai makna hampir sama yadnya lebih condong pada upacara sedangkan dana pemberian berupa materi. Bila kita berdana untuk pemeliharaan atau perkembangan Pura berarti kita sudah bakti kepada Tuhan, karena pura merupakan tempat pemujaan maha Pencipta. Pemberian dana yang ditujukan kepada kegiatan sosial seperti membantu orang miskin, memberi pertolongan kepada orang yang sedang dilanda kesusahan merupakan bentuk Dana yang sangat tinggi nilainya.
 Dana yang diberikan dalam bentuk ilmu pengetahuan sehingga orang menjadi pintar, trampil sehingga bisa hidup sendiri nilainya lebih tinggi pula. Karena itu umat Hindu dimana saja berada kita hendaknya dapat berperan dan mengambil bidang masing-masing untuk beryadnya, berdana punia sesuai kemampuan dan kapasitas kita, diberikan kepada siapa saja yang memerlukan yang dilandasi dengan ketulus-ikhlasan. Jangan beryadnya menyusahkan diri sendiri atau memaksakan diri, karena dana yang demikian tidak bermanfaat. Kita sadari tujuan hidup Umat Hindu adalah untuk mencapai kesejahteraan rahani dan jasmani, kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan.

Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu:
1.      Budha Pon Sungsang.
Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan,  disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung. Sugian itu penyucian awal. Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma). Oleh karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma. Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan. Tenten artinya sadar atau kesadaran
2.     Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sugian Jawa atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka.
3.    Sukra Kliwon Sungsang adalah  Sugian Bali
bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Sugian Bali dilaksanakan 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
Penyekeban
3 hari sebelum Galungan, Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi. Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri.



Penyajahan
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang. Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).
Penampahan
Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa. Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat). Secara simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia. Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut: lamak simbol Reg Weda, bakang-bakang simbol Atarwa Weda, tamiang simbol Sama Weda, dan sampian simbol Yayur Weda. Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.










Manis Galungan
 Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu. Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya. Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).

Pemacekan Agung
 Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.


Penampahan Kuningan

Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa, Sada Siwa, Parama Siwa).











KUNINGAN

 Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.
Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.
Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi






PEGAT UWAKAN

Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya.


Hari Raya agama Hindu berdasarkan Kalender Saka

Nyepi
'Hari Raya Nyepi' adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.
Pengertian Nyepi
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c6/Ogoh-Ogoh---Ubud_Football_Field-Red_one_with_kids.jpeg/200px-Ogoh-Ogoh---Ubud_Football_Field-Red_one_with_kids.jpeg
http://bits.wikimedia.org/static-1.21wmf4/skins/common/images/magnify-clip.png
Ogoh-ogoh yang sedang diparadekan di daerah Ngrupuk dalam upacara Bhuta Yajna.
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.

Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.
Puncak acara Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada 'pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.
Ngembak Geni (Ngembak Api)
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Inti Dharma Santi adalah filsafat Tattwamasi yang memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.