Rabu, 31 Agustus 2016

Hari Raya Galungan

Hari Raya Galungan (Budha Kliwon Dungulan)
Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. 
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.
Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.
Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
  1. Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
    Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
  2. Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
    Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
  3. Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
    Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.

Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain. 
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.

Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.



Buda Cemeng Kelawu", Hari Keuangan Gaya Bali
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyL31J7wOg5LjNdbOb4JI4GNmOGUvT7LWiHZ6jbGR1uyI87GMbPWziN8suQs2ljY8wqBgFuEYensZkVyROfBuKFolBpHP7DDm9YFIG4BVvbqm6YTRCtNoEhzgSMWaYtW4s2bHomYv63Ca-/s320/Buda+Cemeng+Kelawu.jpg
RABU (17/12) lalu orang Bali kembali merayakan hari Buda Cemeng Kelawu. Menurut tradisi Bali, Buda Cemeng Kelawu dimaknai sebagai piodalan pipis, saat menghaturkan rasa syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas limpahan karunia uang yang berlimpah. Pada hari itu, orang Bali memuja Hyang Widhi dalam prabhawa Batari Rambut Sadana yang dimanifestasikan sebagai Dewi Penguasa Uang. Inilah tradisi lokal yang dapat disejajarkan sebagai Hari Keuangan gaya Bali. 

----------------------- 
MASYARAKAT di wilayah Bali Timur seperti Gianyar, Bangli, Klungkung hingga Karangasem, hari Buda Cemeng Kelawu mendapat perhatian khusus. Masyarakat awam memaknai Buda Cemeng Kelawu sebagai hari piodalan pipis, hari untuk memuja Batari Rambut Sadana atas karunia kemakmuran dan kesejahteraan yang melimpah. 
Pada hari itu, kebanyakan keluarga menghaturkan piodalan di sanggah/merajan rumah masing-masing. Belakangan, lembaga-lembaga keuangan seperti bank mulai mengadakan piodalan atau pujawali di padmasana kantor masing-masing pada Buda Cemeng Kelawu. Karenanya, Buda Cemeng Kelawu menjadi begitu semarak dan meriah di seantero Bali. 
Memang, dalam lontar Sundarigama disebutkan, Buda Wage Kliwon yang disebut juga Buda Cemeng Kelawu merupakan saat memuja Batari Rambut Sadana, sang Dewi penguasa atas uang. Saat itu diyakini sebagai saat beryoganya Batari Rambut Sadana. 
Wayan Budha Gautama dalam buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu disebutkan jenis widi-widana yang mesti dipersembahkan pada Buda Cemeng Kelawu meliputi suci, daksina, peras, penek, ajuman, sodaan putih kuning. Namun, persembahan ini masih bisa berubah lagi sesuai loka dresta masing-masing daerah. 
Tempat menghaturkan persembahan widi-widana tersebut di antaranya parahyangan antara lain Pura Melanting atau pura-pura lainnya yang memang memiliki arca lingga Ida Batara Rambut Sadana. Begitu juga di sanggah/merajan serta tempat penyimpanan uang (brankas) dan tempat penyimpanan beras. 

Pantangan Bertransaksi
Yang menarik, ada keyakinan di kalangan sebagian orang Bali mengenai pantangan untuk bertransaksi menggunakan uang dan sejenisnya saat Buda Cemeng Kelawu. Di sejumlah daerah juga disebutkan saat Buda Cemeng Kelawu dipantangkan untuk membayar atau menagih utang-piutang atau pun memberikan/menyedekahkan beras kepada orang lain. 
Bagi orang yang hidup dalam tradisi modern, pantangan semacam ini tentu saja sulit untuk diterima. Dinamika perekonomian masyarakat yang begitu tinggi membuat tidak mungkin untuk menghentikan transaksi menggunakan uang dalam sehari. Menghentikan transaksi berarti juga menghentikan kegiatan ekonomi. Berhentinya kegiatan ekonomi berarti kerugian. 
Namun, pantangan bertransaksi menggunakan uang dan alat pembayaran sejenisnya di hari Buda Cemeng Kelawu mesti dimaknai sebagai sebuah kearifan lokal Bali dalam memandang arti dan makna uang. Orang Bali menyadari uang merupakan sesuatu yang telah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan masyarakat saat ini. Terlebih lagi di masa serbaparadoks kini. Seperti disuratkan dalam Nitisastra, di zaman Kaliyuga yang menang adalah ia yang memiliki uang. Dengan uang, orang kini bisa melakukan apa saja untuk memuaskan keinginannya. Mulai dari membeli mobil terbaru, rumah mewah hingga membeli jabatan tinggi. 
Karena begitu berkuasanya uang di zaman Kaliyuga, orang Bali senantiasa diingatkan untuk bisa mengendalikan dirinya dalam memandang, memaknai, memperlakukan serta mencari uang. Saat Buda Cemeng Kelawu, orang Bali disadarkan betapa uang bukanlah segalanya, uang bukanlah dewa. Dengan membiarkan uang diam, tidak dibayarkan dan tidak beredar, orang Bali diingatkan tentang hakikat uang. Yang berkuasa atas segala dunia ini adalah Yang Maha Agung, Yang Mahasumber, Yang Maha Pencipta. 
Orang Bali juga diingatkan untuk mengelola uangnya secara arif dan proporsional. Dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan, harta kekayaan, termasuk uang yang didapat hendaknya dibagi tiga. Sepertiga buat memenuhi keperluan hidup (kama), sepertiga buat diinvestasikan atau diputar lagi (arta) sehingga menjadi terus bertambah. Sisanya sepertiga lagi mestilah didermakan, di-yadnya-kan (dharma). Dharma ini mesti diterjemahkan dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya untuk kepentingan upacara agama, juga untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu, membiayai pendidikan anak-anak miskin.






HARI RAYA AGAMA HINDU

RERAINAN JAGAT


KAJIAN MATERI.

Materi ini menjadi pilihan topik yang perlu dikaji lebih mendalam. Selama ini, hari-hari yang dinamakan rerainan lebih diaktualisasikan dalam suatu bentuk persembahan ( wujud ) ritual berupa banten dan segehan/caru yang dibingkai dengan tatanan nista, madya, dan utama, serta dibarengi dengan gerak laku ( karma marga ) yakni persembahan diri ( persembahyangan ).


LATAR BELAKANG.

Ada baiknya, perayaan hari raya yang telah berjalan di masyarakat tersebut direnungkan kembali. Mencari tahu, sejak kapan rerainan itu mentradisi di Bali ?, Mengapa rerainan itu ada, tentunya ada makna, tujuan, dan sudah dipastikan harinya ( dewasa ) ?, serta masyarakat sudah secara turun temurun melaksanakannya tanpa berani merubah, apalagi meniadakannya. Sebelum melangkah lebih jauh untuk melakukan pengkajian materi ini, perlu diketahui latar belakang agenda kegiatan ini diadakan.

Berbagai cerita pengalaman tentang penelusuran kehidupan yang bertujuan mencari tahu apa yang selama ini telah diamanatkan oleh orang tua kita, yakni orang Bali yang beragama Hindu. Dan secara jujur, pertanyaan mendasar tersebut sampai hari ini masih samar pemahamannya. Cobalah tanya diri masing-masing !!! Yang masih kuat terngiang di benak ini adalah sedari kecil selalu dibuatkan upacara otonan. Dan setiap rerainan seperti Galungan, Kuningan, Pagerwesi, hanya rutin membantu mempersiapkan sesajen dengan segala atributnya. Jadi, hanya sibuk dengan beragam kegiatan tanpa mengetahui untuk apa dan mengapa itu dibuat ? Rutinitas kegiatan itu demikian terpola dalam ingatan sehingga setiap perayaan hari raya “ harus “ ada banten dan atributnya serta dilengkapi dengan gerak lakunya ( karma marga ).

Singkat cerita. Ketika mulai menjalani hidup jauh dari orang tua/keluarga besar, umumnya kegiatan ritual mulai jarang dilakoni. Nah, bagaimana kalau sampai menetap di luar Bali, dan dengan hanya berbekal pemahaman akan makna upakara-upacara masih samar – saru gremeng, khususnya untuk peringatan hari kelahiran/oton ? Maka waktu peringatan hari kelahiran ( oton ) tersebut akan lewat begitu saja, tanpa ada prosesi apa pun. Begitu pula dengan perayaan hari raya lainnya seperti galungan, kuningan dan pagerwesi, umumnya hanya dirayakan sesuai dengan keyakinan yang samar, dan tidak ada persembahan. Disamping tidak mengerti, yang menjual sarana upakara bebanten pun juga tidak ada. Maka lengkaplah kegamangan pikiran dan perasaan pada saat itu.

Untuk menghindari kondisi seperti tersebut itu, sebaiknya kita mengisi diri, belajar  pada salah satu pesantian tempat pelatihan pembuatan dan penataan banten, serta melaksanakan suatu prosesi upacara. Proses seperti ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan diri, memperluas wawasan pengetahuan makna ajaran agama, terutama yang dekat dengan keseharian kita. Namun, hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk diri sendiri dan keluarga – anak, menantu, cucu – yang menjadi bagian dari keluarga.

Pertanyaannya, bagaimana menjadi orang Hindu Bali yang berada jauh dari keluarga besar, dari masyarakat Hindu, serta dari lingkungan yang mampu menyediakan sarana dan prasarana upakara dan pelaksanaan upacara ? Apakah pakem seperti itu yang wajib dilaksanakan ? Bagaimana memandang saudara-saudara kita yang telah meyakini suatu paham “ impor “ dan telah menjamur di sekitar kita ? Salahkah mereka ?

Mengkritisi cerita pengalaman tersebut di atas, akhirnya kita perlu merenung bersama. Hingga tercetuslah kemudian pertanyaan ?, “ Untuk siapa kalender Bali ini dibuat “? Tentunya ada makna /esensi yang perlu diungkap dan dijabarkan, dengan harapan agar lebih mudah diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.


TUJUAN PENGKAJIAN.

            Harus diakui, selama ini ekspresi umat Hindu di Bali, didominasi dan terfokus pada persembahan keluar berupa banten/sesajen yang bisa dilihat / dinilai orang lain. Seperti itulah saat ini yang menjadi ukurannya. Sudah semestinya dibuatkan suatu tata cara belajar yang sesuai dengan penjenjangan hidup, dengan mengambil spirit Catur Asrama sebagai terminalnya. Pola pikir masyarakat ( manusia ) pada umumnya sering melawan hati nuraninya, menggilas rasa yang bersemayam dalam sanubari ( adnya ), dan membiarkan “ sang pikir “ ( jnyana ) berkuasa sebagai pengendali atas dirinya.


Berikut ini,  rerainan yang lumrah diperingati oleh umat Hindu Sedharma, yakni :

  1. Saniscara Kliwon Nawa Uye, ~ Tumpek Kandang.
  2. Buda Wage Menail, ~ Buda Cemeng Menail.
  3. Wraspati Kliwon Menail, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
  4. Sukra Umanis Menail, ~ Hari Bhatari Shri.
  5. Anggara Kliwon Prangbakat, ~ Anggara Kasih Prangbakat. 
  6. Sukra Kliwon Bala, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Buda Kliwon Ugu.
  2. Saniscara Kliwon Wayang, ~ Tumpek Wayang.
  3. Buda Wage Kelawu, ~ Buda Cemeng Kelawu.
  4. Sukra Umanis Kelawu, ~ Hari Bhatari Shri.
  5. Anggara Kliwon Dukut, ~ Anggara Kasih Dukut.
  6. Redite Kliwon Watugunung, ~ Kajeng Kliwon Pemelastali / Watugunung runtuh.
  7. Anggara Pahing Watugunung, ~ Hari Paid-paidan.
  8. Buda Pon Watugunung, ~ Hari Urip.


  1. Wraspati Wage Watugunung, ~ Hari Patetegan.
  2. Sukra Kliwon Watugunung, ~ Hari Pangeredanan.
  3. Saniscara Umanis Watugunung, ~ Hari Saraswati.
  4. Redite Pahing Dasa Sinta, ~ Hari Banyu Pinaruh.
  5. Soma Pon Dasa Sinta, ~ Hari Soma Ribek.
  6. Anggara Wage Dasa Sinta, ~ Hari Sabuh Mas.
  7. Buda Kliwon Dasa Sinta, Hari Pagerwesi.
  8. Soma Kliwon Landep, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
  9. Sanicara Kliwon Landep, ~ Tumpek Landep.
  10. Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
  11. Buda Wage Ukir, ~ Buda Cemeng Ukir.
  12. Sukra Umanis Ukir, ~ Hari Bhatari Shri.
  13. Anggara Kliwon Kulantir, ~ Anggara Kasih Kulantir, dan Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara-Bhatari di Merajan.
  2. Buda Kliwon Gumbreg dan Kajeng Kliwon Uwudan.
  3. Saniscara Kliwon Wariga, ~ Tumpek Uduh/Pengatag.
  4. Buda Wage Warigadian, ~ Buda Cemeng Warigadian.
  5. Wraspati Kliwon Warigadian, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.
  6. Sukra Umanis Warigadian, ~ Hari Bhatari Shri.


  1. Anggara Kliwon Julungwangi, ~ Anggara Kasih Julungwangi.
  2. Wraspati Wage Eka Sungsang, ~ Hari Sugian Jawa.
  3. Sukra Kliwon Sungsang, ~ Hari Sugian Bali, Kajeng Kliwon Uwudan.
  4. Redite Pahing Dungulan, ~ Hari Penyekeban.
  5. Soma Pon Dungulan, ~ Hari Penyajaan Galungan.
  6. Anggara Wage Dungulan, ~ Hari Penampahan Galungan.
  7. Buda Kliwon Dungulan, ~ Hari Raya Galungan.
  8. Wraspati Wage Dungulan, ~ Hari Umanis Galungan.
  9. Saniscara Pon Dungulan, ~ Hari Pemaridan Guru.
  10. Redite Wage Kuningan, ~ Hari Ulihan.
  11. Soma Kliwon Kuningan, ~ Pemacekan Agung.
  12. Saniscara Kliwon Kuningan, ~ Hari Raya Kuningan. Tumpek Kuningan. Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Buda Wage Langkir, ~ Buda Cemeng Langkir.
  2. Sukra Umanis Langkir, ~ Hari Bhatari Shri.
  3. Anggara Kliwon Medangsia, ~ Anggara Kasih Medangsia.
  4. Redite Kliwon Pujut, ~ Kajeng Kliwon Uwudan.
  5. Buda Kliwon Pahang, ~ Pegatwakan.
  6. Soma Kliwon Krulut, ~ Kajeng Kliwon Enyitan.


  1. Saniscara Kliwon Krulut, ~ Tumpek Krulut.
  2. Buda Wage Merakih, ~ Buda Cemeng Merakih.
  3. Sukra Umanis Merakih, ~ Hari Bhatari Shri.
  4. Anggara Kliwon Dwi Tambir, ~ Anggara Kasih Tambir. Kajeng Kliwon Uwudan.
  5. Anggara Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi / Bhatara Brahma di Merajan Kawitan.
  6. Buda Kliwon Matal, dan Kajeng Kliwon Enyitan.
  7. Anggara Kliwon Dukut, ~ Anggara kasih Dukut.


  1. Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
  2. Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara/Bhatari di Merajan.


  1. Anggara Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi/ Bhatara Brahma di Merajan Kawitan.
  2. Buda Pon Medangkungan, ~ Melakukan Upakara Nangluk Merana.


TUMPEK :

¯  Saniscara Kliwon Nawa Uye, ~ Tumpek Kandang.
¯  Saniscara Kliwon Wayang, ~ Tumpek Wayang.
¯  Saniscara Kliwon Landep, ~ Tumpek Landep.
¯  Saniscara Kliwon Wariga, ~ Tumpek Uduh/Pengatag/Wariga.
¯  Saniscara Kliwon Krulut, ~ Tumpek Krulut.
¯  Saniscara Kliwon Kuningan, ~ Tumpek Kuningan.


PURNAMA – TILEM :

¯  Purnama Sasih Kelima ;           Tilem Sasih Kelima.
¯  Purnama Sasih Keenam.          ;           Tilem Sasih Keenam.
¯  Purnama Sasih Kepitu.             ;           Tilem Sasih Kepitu.
¯  Purnama Sasih Kewulu.           ;           Tilem Sasih Kewulu.
¯  Purnama Sasih Kesanga.         ;           Tilem Kesanga.
¯  Purnama Sasih Kedasa.           ;           Tilem Kedasa.
¯  Purnama Sasih Jiyesta.            ;           Tilem Sasih Jiyesta.
¯  Purnama Sasih Sadha.             ;           Tilem Sasih Sadha.
¯  Purnama Sasih Kasa.   ;           Tilem Sasih Kasa.
¯  Purnama Sasih Karo.   ;           Tilem Sasih Karo.
¯  Purnama Sasih Ketiga. ;           Tilem Sasih Ketiga.
¯  Purnama Sasih Kapat.             ;           Tilem Sasih Kapat.


KAJENG KLIWON :

¯  Kajeng Kliwon Uwudan.
¯  Kajeng Kliwon Enyitan.
¯  Redite Kliwon Watugunung, ~ Kajeng Kliwon Pemelastali.


ANGGARA KASIH :

¯  Anggara Kliwon Prangbakat, ~ Anggara Kasih Prangbakat.
¯  Anggara Kliwon Dukut, ~ Anggara kasih Dukut.
¯  Anggara Kliwon Kulantir, ~ Anggara Kasih Kulantir.
¯  Anggara Kliwon Julungwangi, ~ Anggara Kasih Julungwangi.
¯  Anggara Kliwon Medangsia, ~ Anggara Kasih Medangsia.
¯  Anggara Kliwon Dwi Tambir, ~ Anggara Kasih Tambir.



Uku Watugunung, hari raya SARASWATI :

¯  Redite Kliwon Watugunung, ~ Watugunung runtuh.
¯  Anggara Pahing Watugunung, ~ Hari Paid-paidan.
¯  Buda Pon Watugunung, ~ Hari Urip.
¯  Wraspati Wage Watugunung, ~ Hari Patetegan.
¯  Sukra Kliwon Watugunung, ~ Hari Pangeredanan.
¯  Saniscara Umanis Watugunung, ~ Hari Saraswati, Turunannya Ilmu Pengetahuan.


Uku Sinta, hari raya PAGERWESI :

¯  Redite Pahing Dasa Sinta, ~ Hari Banyu Pinaruh.
¯  Buda Kliwon Dasa Sinta, ~ Hari Pagerwesi.


Hari raya SIWARATRI


Uku Sungsang – Dungulan, hari raya GALUNGAN :

¯  Wraspati Wage Eka Sungsang, ~ Hari Sugian Jawa.
¯  Sukra Kliwon Sungsang, ~ Hari Sugian Bali.
¯  Redite Pahing Dungulan, ~ Hari Penyekeban.
¯  Soma Pon Dungulan, ~ Hari Penyajaan Galungan.
¯  Anggara Wage Dungulan, ~ Hari Penampahan Galungan.
¯  Buda Kliwon Dungulan, ~ Hari Raya Galungan.
¯  Wraspati Wage Dungulan, ~ Hari Umanis Galungan.
¯  Saniscara Pon Dungulan, ~ Hari Pemaridan Guru.


Uku Kuningan, hari raya KUNINGAN :

¯  Redite Wage Kuningan, ~ Hari Ulihan.
¯  Soma Kliwon Kuningan, ~ Pemacekan Agung.
¯  Sukra Wage Kuningan, ~ Penampahan Kuningan.
¯  Saniscara Kliwon Kuningan, ~ Hari Raya Kuningan.


Uku Pahang :

¯  Buda Kliwon Pahang, ~ Pegatwakan.


Hari raya NYEPI :

¯  Melasti, Pekiyisan ke Segara/mata air suci.
¯  Tilem Kesanga dan Melakukan Bhuta Yadnya/Tawur Agung Kesanga/Mecaru, Ngerupuk.
¯  Nyepi, Tahun Baru Saka. Melakukan Catur Berata Penyepian dan Meditasi.
¯  Ngembak Geni.


HARI BHATARI SHRI :

¯  Sukra Umanis Menail,
¯  Sukra Umanis Kelawu,
¯  Sukra Umanis Ukir,
¯  Sukra Umanis Warigadian,
¯  Sukra Umanis Langkir,
¯  Sukra Umanis Merakih,
¯  Sukra Umanis Merakih,


LAINNYA :

¯  Buda Cemeng Menail.
¯  Buda Kliwon Ugu.
¯  Buda Wage Kelawu, ~ Buda Cemeng Kelawu.
¯  Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
¯  Buda Wage Ukir, ~ Buda Cemeng Ukir.
¯  Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara-Bhatari di Merajan.
¯  Buda Kliwon Gumbreg.
¯  Buda Wage Warigadian, ~ Buda Cemeng Warigadian.
¯  Buda Wage Merakih, ~ Buda Cemeng Merakih.
¯  Buda Kliwon Matal.
¯  Anggara Pahing Medangkungan, ~ Memuja Hyang Widhi / Bhatara Brahma di Merajan Kawitan.
¯  Redite Umanis Ukir, ~ Memuja Bhatara Hyang Guru.
¯  Soma Umanis Tulu, ~ Memuja Bhatara/Bhatari di Merajan.


Demikian padat kegiatan rerainan yang diperingati umat di Bali. Belum lagi masyarakat  berbicara perihal upacara di pura-pura seperti : Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga, Dadia Keluarga. Lain lubuk lain ikannya, maksudnya, masing-masing desa Pakraman punya awig-awig adat, dengan kesepakatan inti adalah ngerombo karya.

            Namun sesungguhnya, kalau dicermati secara lebih mendalam, bahwa apa yang telah diwariskan tetua dalam berbagai perayaan ini sudah diatur sedemikian rupa. Ada keselarasan antara jaba dan jero yang oleh para tetua jadikan laku-fisik ( karma yoga ). Laku-jaba, adalah pelaksanaan persembahan berupa wujud/simbol-simbol/sesaji untuk Sang Pencipta. Sedangkan laku-jero, melaksanakan brata, yasa, ( yoga, Samadhi ).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar